Ada yang menarik untuk diperbincangkan tentang Iwan Fals belakangan ini, masing-masing menyangkut album terbaru, dan obsesinya. Iwan Virgiawan, ya Iwan Fals, satu kekuatan yang barangkali jarang dimiliki oleh kebanyakan pemusik lainnya adalah kejujurannya bermusik.
Sikap inilah yang dipeliharanya sepanjang keterlibatannya dengan musik, "Aku dihidupi oleh musik", untuk itu aku pun berkewajiban menghidupi musik yang aku geluti. Caranya?
Ya bermain musik dengan sejujur-jujurnya. Bisaku hanya kord” tiga jurus, ya aku mainkan yang tiga jurus itu dengan total.
Kalau ternyata kemampuanku bertambah, lantaran bertambah teman, yang memberiku masukan, ya aku... “Tambahi lagi menjadi lima kord“ dan seterusnya.
Pokoknya aku nggak mau menipu diri sendiri, dengan memaksa bermain musik yang aku sendiri belum paham.
”Pokoknya yang wajar-wajar sajalah" semenjak gabung dengan SWAMI” dan menjalani tour ke Sumatera sekitar awal 1991, otomatis Iwan lebih banyak tinggal di rumah, sembari sesekali waktu mendatang" acara-acara diskusi yang melibatkan seniman-seniman semacam Rendra, Setiawan Djodi, sampai kelompok wahana lingkungan hidup.
Dari pergaulan inilah, lwan jadi banyak melakukan kontemplasi. "Karena yang kukuasai musik, maka aku pun kepingin mencurahkan perenunganku lewat musik. Jadi, sekalipun saya banyak terlibat dengan teman-teman Walhi atau teman-teman seniman.
Saya nggak akan menyebrang menjadi penyayang lingkungan dengan membawa spanduk-spanduk anti nuklir ke jalan atau ke DPR "Misalnya" Aku sama sekali buta dengan urusan-urusan di luar musik, biarlah, cukup dengan lagu "PROYEK 13"
Sebuah lagu yang liriknya dibikin oleh "Mahesa Ibrahim" nampaknya cukup mewakili kegelisahan Iwan tentang kerakusan sekelompok manusia terhadap alam "meskipun kurang cukup dengan musik, karena itu memang yang aku bisa."
Sebuah lagu yang liriknya dibikin oleh "Mahesa Ibrahim" nampaknya cukup mewakili kegelisahan Iwan tentang kerakusan sekelompok manusia terhadap alam "meskipun kurang cukup dengan musik, karena itu memang yang aku bisa."
Maka, apabila Iwan kemudian berhasrat membuat album baru dengan titel "CIKAL" sebetulnya tak lebih berisi kegundahannya tentang apa saja yang terjadi di sekitarnya "Intro" begitu judul lagu pertamanya di album terbarunya, mendengar lagu ini, belum-belum kita sudah menangkap seorang Iwan yang senantiasa gelisah mencari kesejatian hidup.
Gitar kayu kumainkan...
Suaranya lahirkan tanya...
Bertanya...
Bertanya...
Selalu bertanya...
Aku prihatin, tapi bukan bagianku untuk memperbincangkan ini di depan para pengambil kebijakan. Aku cuma bisa nyanyi, aku cuma bisa main gitar. Ya itu saja yang aku lakukan. Aku juga mendengar kabar, seorang peserta Jambore Nasional di Cibubur yang berasal dari Sulawesi merasakan gatal-gatal di tubuhnya setelah mandi di bumi perkemahan itu. Ada apa ini? Lho, kalau begitu di Sulawesi memang masih bersih airnya, masih bersih udaranya. Lha, Jakarta ini, bagaimana pula kondisinya sekarang? ya udaranya, ya airnya, ya tanahnya.
Jagan-jangan kita memang sudah dikubangi oleh asap-asap industri, paham tentang radiasi.
Meskipun kurang paham tentang uranium, meskipun kurang paham tentang plutonium, kutahu radio aktif panjang usia. Aku tak tahu sampahnya ada di mana. Aku tak tahu pula cara menyimpannya, aku tak yakin tentang pengamanannya, karena kebocoran ada di sana (Chernobyl?)."
Nah, dari sisi tema lirik, nampaknya Iwan memang total berpihak pada nurani dan alam raya. Satu hal yang mengganjal, agaknya iwan lupa, bahwa bahasa yang digunakan dalam lagu-lagunya sudah kelewat pintar buat si Otong yang lulusan SMP.
Atau bahkan sampai si David yang cuma makelar di terminal Cililitan, dari sisi musikalitas, Iwan cenderung ramai dengan konsep.
Maka entah disadari atau tidak keluyuran Iwan "bermusik justru rusak oleh kehadiran beberapa personil pendukung album ini semacam Embong Rahardjo, Gilang Ramadhan, dan Mathes yang jelas jelas berasal dan akar musik yang berbeda dengan akar musikalitas Iwan "Walhasil" iwan tak ubahnya sebagai seorang FILSUF yang bicara soal kehidupan dari balik gorden jendela sebuah hotel berbintang lima.
Dengar saja lintasan bass "Mathes" di lagu Alam Malam yang Sarat'a dengan improvisasi khas irama jazz. Sementara Gilang gelagapan menginterpretasikan, suasana peperangan di dunia perwayangan lewat gemuruh drumnya. Adapun Embong, lewat saksofon dan flutenya, kadang membawa kesakitan jiwa Iwan jadi kelewat romantis.
Untung masih ada Cok Rampal yang cukup tanggap menterjemahkan keinginan iwan lewat efek-efek bunyi yang di lahirkan lewat instrumen tradisional semacam Senterewe dan Gong Seng pada lagu "ADA".
Satu hal yang tak bisa dihindarkan oleh Iwan pada album ini, adalah lantaran Iwan sebetulnya sudah kadung akrab dengan konco konconya di kelompok Swami. Maka, apabila mendengar Alam Malam, ingatan kita boleh jadi langsung ke lagu "Bunga Trotoar" milik Swami. Cuma sayang, lagu "Untuk Yani" yang semula di niatkan diputar pada acara Selekta Pop 13 JuLi 1991 agaknya kena "CEKAL“.
Mudah"an B'manfaat....
Salam Tambah wawasan....
Kutipan Citra Juli 1991 (HK)
===========================================
Artikel ini diambil dari majalah/koran kemudian telah di ketik ulang dan di re-upload, dan ini hanya sekedar membagi wawasan agar dapat membacanya kembali, khususnya kepada penggemar Iwan Fals. Semoga bermanfaat
0 Comments