SELAMAT DATANG DI BLOG "IWAN FALS INFO" SEMOGA BERMANFAAT BAGI PARA PENGUNJUNG

Memaknai Kematian Dalam Lirik Lagu Iwan Fals


Di sini kita bicara
Dengan hati telanjang
Lepaslah belenggu
Sesungguhnya lepaslah

Sesuatu yang hilang
Sudah kita temukan
Walau mimpi ternyata
Kata hati nyatanya

Bagaimanapun aku harus kembali
Walau berat aku rasa kau mengerti
Simpanlah rindumu jadikan telaga
Agar tak usai mimpi panjang ini
Air mata nyatanya

(Yockie Suryoprayogo, Air Mata, Kantata Takwa)

Tak ada pertanyaan tentang kematian. Namun izinkanlah saya menulis tentang kematian.

Hari-hari belakangan ini telinga saya karib dengan berita-berita kematian. Sebenarnya sudah beberapa lama, namun satu-dua berita kematian yang mengentak banyak orang mucul di hari-hari belakangan dan kita semakin akrab saja dengan duka, atau sekurang-kurangnya perasaan kehilangan, sedih yang tertahan, atau apapun saja yang membuat kita tahu bahwa ada mekanisme yang tak bisa kita tahan, ada semacam “kekuatan” yang tak bisa kita tolak sekuat apapun kita berusaha menjauhkan diri darinya.

Entah sudah berapa kali kita mendengar berita kematian. Puluhan kali? Seratus kali? Dua ratus? Barangkali lebih. Entah berapa sering. Saya sendiri, barangkali, sudah ratusan kali mendengar berita kematian biasanya selepas subuh, lewat corong masjid dekat tempat saya tinggal: kabar itu terdengar. Sesekali saya (me)sempat(kan) merapal doa, sekurang-kurangnya “Innalillahi wa inna ilaihi raji’un” yang dalam saat-saat tertentu dibarengi perasaan sadar bahwa suatu saat sayalah yang akan mendapat giliran. Tapi lebih sering saya lempang, tak acuh dan mengabaikannya begitu saja. Namun belakangan, selepas kepergian Michael Jackson, Mbah Surip, dan beberapa menit yang lalu ketika saya menuliskan artikel ini, WS Rendra; mereka yang karena media massa kematiannya jadi lebih dramatis sekaligus tragis, mereka yang berita kematiannya menjadi kabar duka banyak orang—memaksa kita, saya, tahu dan sadar bahwa kematian sesungguhnya memang karib dengan hidup kita selama ini dan karenanya mesti kita serap makrifatnya.

panji-panji putih-putih
berkibar setengah tiang
burung-burung merpati
menebarkan melati
lampu suci dinyalakan
dalang tua berdoa

wayang kayon diletakkan
lakon mulai dilakukan
rahasia dibeberkan
peristiwa dijelaskan
bayangan dihidupi
cermin hati dibagi

(Untuk Bram, Iwan Fals)

Saya sering bertanya: kenapa terlebih dahulu butuh kematian untuk mengungkap rahasia kebaikan? Mengapa terlebih dahulu wayang kayon mesti diletakkan sebelum sebuah lakon mengabarkan kisahnya, rahasia dibeberkan segamblangnya, peristiwa dijelaskan sedetilnya, bayangan diberi cahaya dan diungkap dari tempat yang gelap… Singkatnya, kenapa butuh sebuah “perpisahan” untuk bisa membaca cermin hati? Untuk menemukan kebaikan-kebaikan? Kemana radar kebaikan kita selama ini? Kemana pengetahuan dan daya-tangkap kita selama ini untuk menemukan makna dari peristiwa-peristiwa kecil? Kenapa terlebih dahulu butuh kematian?

Saya tak bisa mengerti. Barangkali pemahaman saya dangkal dan pengetahuan saya hanya sejengkal. Panji-panji putih-putih / berkibar setengah tiang / burung-burung merpati / menebarkan melati / lampu suci dinyalakan / dalang tua berdoa… baru setelah itu, setelah mayat diantarkan ke liang lahat, setelah tangis tumpah, kita sadar bahwa misalnya Mbah Surip adalah orang baik yang mengajarkan banyak hal kepada kita melalui kejujuran dan kesederhanaannya, bahwa misalnya Michael Jackson adalah orang baik yang mengajarkan kita tentang perjuangan dan kedermawanan, bahwa misalnya WS Rendra sudah memberi dan mengajarkan kita banyak hal selama hidupnya.

Mengapa terlebih dahulu butuh perpisahan untuk menemukan kebaikan-kebaikan? Saya tak bisa mengerti. Barangkali pemahaman saya dangkal dan pengetahuan saya hanya sejengkal. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Pertanyaannya, butuh berapa kematian lagi kita harus belajar?

padi menguning tinggal dipanen
bening air dari gunung
ada juga yang kekeringan karena kemarau

semilir angin perubahan
langit mendung kemerahan
pulanglah kitari lembah, sawah

selamat jalan pahlawanku
pejuang yang dermawan
kau pergi saat dibutuhkan, saat dibutuhkan

keberanianmu mengilhami jutaan hati
kecerdasan dan kesederhanaanmu
jadi impian

pergilah pergi dengan ceria
sebab kau tak sia-sia
tak sia-sia, tak sia-sia
pergilah kawan
pergilah pendekar

satu hilang seribu terbilang
patah tumbuh hilang berganti
terimalah sekadar kembang
dan doa-doa

Lagu itu diciptakan Iwan Fals untuk mengenang almarhum Munir, pejuang Hak Asasi Manusia yang meninggal diracun dalam sebuah perjalanan pesawat menuju Belanda itu. Judulnya Pulanglah. Saya selalu tertegun setiap kali sampai di bait pergilah pergi dengan ceria / sebab kau tak sia-sia / tak sia-sia / tak sia-sia / pergilah kawan / pergilah pendekar. Saya selalu membayangkan diri saya sendiri, kelak, akankah bait itu pantas untuk saya? Apa yang sudah saya berikan untuk Hidup? Ya, saya sudah sering belajar. Tapi barangkali saya tak pernah lulus ujian. Selalu gagal memahami makna terdalamnya. Barangkali saya seperti anak sekolah yang menghapal rumus di luar kepala, tetapi selalu gagap setiap kali berhadapan dengan soal-soal dengan kasus-kasus yang baru. Bacalah lagi lirik lagu itu, bacalah lagi. Tariklah napas lebih panjang minumlah terlebih dahulu jika perlu, perlahan-lahan. Lagu itu barangkali pantas kita nyanyikan untuk Michael Jackson, Mbah Surip, WS Rendra, atau siapa saja mereka yang memberi makna pada Hidup yang mereka hidupi dan hidup yang mereka hidup-hidupkan. Tapi, sudahkah lagu itu pantas bagi kita, bila kelak kita meninggal? Bila kelak kematian memeluk kita dalam-dalam? Entahlah.

***

Entah sudah berapa kali kita mendengar berita kematian. Puluhan kali? Seratus kali? Dua ratus? Barangkali lebih. Tapi pernahkah kita sesekali bertanya dan merenung bahwa suatu saat kematian itu bakal menjemput kita barangkali di suatu pagi yang dingin, dalam panas yang terik, atau di malam yang sunyi? Kita tak pernah tahu. Kematian datang dan pergi seperti penjual koran dalam bus kota. Barangkali beberapa saat yang lalu, kemarin, tiga hari yang lalu, sebulan yang lalu, dia hanya lewat di samping kita menawarkan sebuah tabloid pada seorang penumpang dan ia membelinya. Lalu lewat lagi menemui penumpang yang lain. Dan kita tahu, setidaknya dengan menggunakan teori peluang, suatu saat penjual koran itu akan hadir di hadapan kita, tepat di hadapan kita, dan menawari kita sebuah tabloid, majalah olah raga, atau buku teka-teki silang bergambar Cinta Laura. Entahlah, kita tak diberikan pengetahuan untuk tahu dan mengerti bagai mana kelak kita akan mati.

Mengapa terlebih dahulu butuh perpisahan untuk menemukan kebaikan-kebaikan? Barangkali begitulah Tuhan mengajari kita sesuatu. Mengajari kita nilai hidup: kalau kita ingin melakukan banyak hal, pertama-tama daftarilah hal-hal yang tak bisa kita lakukan. Maka kita akan tahu apa saja yang bisa kita lakukan. Barangkali sama seperti logika bila kita ingin tahu apa yang bermakna dari hidup, tataplah kematian.

Kalau kau, kita ingin memiliki hati yang kuat, pikiran yang kuat, kuda-kuda batin yang kuat, maka kunci pertama adalah menyadari kelemahan. Sebab di tengah ketidakmampuanlah kita akan menemukan rahasia kemampuan-kemampuan kita yang tersembunyi. Sama dengan filosofi bahwa jika kau menyadari keterbatasan maka kau akan tahu peluang-peluang kemerdekaanmu.

Kita memang terlahir sebagai makhluk yang sesungguhnya lemah manusia terlahir sebagai makhluk yang cemas atas kelemahan-kelemahannya, begitu kata kitab suci. Lihatlah betapa lemahnya kita: kau tak bisa memerintahkan rambutmu untuk tumbuh, kau tak bisa memerintahkan jantungmu untuk berhenti berdetak dan mulai lagi kapan saja kau mau, kau tak bisa tahu apakah kau akan mati ketika tidur atau tidak banyak hal yang tak bisa kita kendalikan; misalnya, bisakah kau mengubah pandangan matamu yang lurus menjadi belok-belok? Tidak. Banyak hal yang tak bisa kita kendalikan, bahkan hal-hal yang berlaku atas diri kita sendiri. Begitu banyak yang tidak bisa kita perbuat—begitu banyak hal, yang kecil-kecil saja, membuat kita tergantung pada “kehendak atau subjek yang lebih besar”.

Subjek yang lebih besar kekuatan yang bisa mengendalikan sesuatu yang, bahkan yang kecil-kecil tadi, tak bisa kaukendalikan. Terserahmu, kau boleh menyebutnya melalui idiomatik agama, sains, filsafat, atau apapun. Kau boleh menyebutnya Tuhan, Allah, Sang Hyang Agung, Tuhan Bapa, Yesus Kristus, Tao, atau apapun saja tapi intinya adalah ada satu kekuatan besar, satu subjek yang berbuat dan berperan secara rutin, permanen, dan memiliki otoritas yang begitu besar dengan kekuatan yang tak bisa kita jangkau kehebatannya—yang sangat ikut menentukan setiap sel dari tubuh kita, setiap partikel; sehingga jangankan soal nasib masa depan kita, sedangkan metabolisme badan kita ini saja tak bisa kita kendalikan sendiri.

***

Di sini kita belajar ihwal lain dari kematian; bahwa ketika kita dihadapkan pada sesuatu, sesungguhnya kita sedang diberikan pelajaran mengenai hal yang berseberangan secara diametral dengannya. Ketika kita dihadapkan pada kabar kematian, kita sedang dipaksa belajar mengenai kehidupan. Ketika kita dihadapkan pada kesadaran bahwa betapa lemahnya kita, kita sedang dipaksa untuk belajar bahwa ada sesuatu yang lain, “subjek yang lebih besar” tadi, yang Mahawenang dan Mahakudus di atas diri kita sendiri.

Kita jadi tahu, di bibir kematian, kita menatap “teman”, ia membuat kita merasa lapar ketika kita harus makan, ia yang membuat mata kita mengantuk ketika kita harus tidur, ia yang tetap setia menjaga pada milimeter keberapa bulu alis kita harus berhenti tumbuh sementara rambut kita tak pernah berhenti tumbuh. Dialah Subjek Agung, Tuhan, Allah, atau dengan nama apapun saja kau biasa memanggilnya ia yang masih menjaga metabolisme tubuhmu berjalan dalam natur tertentu, namun mungkin suatu saat harus “berhenti”. Kesadaran seperti inilah barangkali yang disebut sebagai “paradoks”. Juga barangkali, sama dengan konsep yang disebut para sufi seperti Ibnu Arabi sebagai tajalli kesadaran untuk melemahkan diri kita dalam rangka menjemput keagungan Tuhan. Membenamkan “aku” hingga pada level yang paling rendah untuk menjemput “cahaya yang maha kudus” pada level yang paling tinggi. Hingga dari gelap terbitlah cahaya, dari tiada terbitlah ada.

Sebab, tak terkecuali pada kematian, kemanapun kau berpaling kau akan melihat wajah Tuhan. Fa ayna-mâ tuwallû fa tsamma wajhu Allah.

***

Hari-hari belakangan ini telinga kita karib dengan berita-berita kematian. Lantas kita bertanya-tanya soal pertanda, adakah kiamat sudah dekat? Barangkali bukan itu maksud Tuhan, barangkali ia sedang mengingatkan kita untuk lebih eling menjalani hidup. Bersiap dengan kesadaran yang fokus.

Barangkali Ia tengah mengingatkan kita bahwa di balik napas seseorang yang berhenti, jantung seseorang yang kadaluarsa, kematian bukan melulu soal tangis duka: kematian adalah alarm pengingat bahwa di dalam diri kita masih ada “kekuatan” atau “kehendak” yang membuat jantung kita tetap berdetak, mata kita tetap berkedip, dan hidung kita masih bernapas lega. Dan itu yang harus kita jaga, harus kita syukuri.

Hari-hari belakangan ini telinga kita karib dengan berita-berita kematian. Izinkan saya menyanyikan bait lagu ini untuk mereka, pergilah pergi dengan ceria / sebab kau tak sia-sia / tak sia-sia / tak sia-sia / pergilah kawan / pergilah pendekar. Dan untuk kita, yang ditinggalkan dan menunggu giliran dengan teka-teki ketidakpastian, Hadapi Saja!

relakan yang terjadi
tak kan kembali
ia sudah milikNya
bukan milik kita lagi

tak perlu menangis
tak perlu bersedih
tak perlu tak perlu sedu sedan itu
hadapi saja

pasrah pada ilahi
hanya itu yang kita bisa
ambil hikmahnya
ambil indahnya

cobalah menari
cobalah bernyanyi
cobalah, cobalah mulai detik ini
hadapi saja

hilang memang hilang
wajahnya terus terbayang
berjumpa di mimpi
kau ajak aku
tuk menari bernyanyi
bersama bidadari, malaikat
dan penghuni surga

Sumber/Penulis : Fahd Djibran

Post a Comment

0 Comments