Catatan 24 Mei 2020
Jejak mBah Coco Sebelum Dilupakan – Jilid 43
Meliput World Cup, adalah impian setiap jurnalis di seluruh pelosok dunia. Jika, mBah Coco, pernah ketiban rejeki, meliput EURO 1988, sebagai jurnalis muda banget. Maka, saat diterjunkan ke World Cyp 1990 di Italia, sudah pernah berbekal pengalaman. Walaupun, jika melihat para jurnalis dunia, maka sejatinya, mBah Coco sangat minder.
Mengapa?
Karena, rata-rata jurnalis yang meliput Piala Dunia, dari hasil pengamatan mBah Coco, rata-rata sudah di atas kepala 40-an, bahkan banyak sekali yang sudah berusia 50 dan 60-an. Mereka, sudah berpengalaman meliput World Cup dan EURO, berkali-kali. Dan, para jurnalis itu, jarang diganti-ganti oleh wartawan muda. Semakin tua, semakin matang meliput dan mengupas sepak bola.
Tiba dua hari masuk kota Roma, atau sehari, setelah menginap di Hostel Penzione, bergaya ‘mafioso’. Maka, sesuai standart warga Indonesia, yang datang ke negara mana pun, wajib lapor ke kantor kedutaan besar, sebagai tujuan utama. Hanya saja, saat itu, orang-orang di kedutaan besar Indonesia, di kota Roma, sepertinya ‘borjouis’. Mbah Coco, disambut dengan sinis, seolah-olah dengan pakaian gaya jurnalis, dan celana pendek, dianggap sebagai pelaut, sehingga terkesan ogah-ogahan menerima tamunya dari Indonesia. Suhu udara Roma, nyaris sama dengan Jakarta, 32 derajat.
“Pelaut ya,” demikian kata orang tersebut. “Bukan,” jawab mBah Coco. “Saya ingin melapor, bahwa saya akan tinggal 40 hari di Italia, karena ada tugas dari koran Indonesia untuk meliput Piala Dunia.” Trus dijawab petugas keduataan, ‘Kalau gitu lapor saja ke ruang itu,” demikian tunjuk orang tersebut. Dan, ternyata orang tersebut, akhirnya memperkenalkan dirinya, bernama Rayana Jakasurya (sejak World Cup 1990, Rayana diajak menjadi kontributor Tabloid BOLA di Italia).
Hampir lima hari pertama, seperti biasanya. Dengan gaya percaya diri dan siap salah jalan, mBah Coco, mencoba naik bus dari TERMINI (kalau di sini mirip seperti stasiun Gambir). Tapi, luasnya Termini, benar-benar raksasa. Karena, dari situ, bisa memilih semua kendaraan. Mau naik kereta antar kota, kereta antar negara dan juga semua bus dari semua jurusan baik dalam kota atau ke luar kota, semua dipusatkan di Termini (jalan kaki dari Hostel Penzione, sekitar 15 menit).
Maka, tujuan pertamanya adalah bus jurusan ke Centro Stampa “Geaetano” di Via (jalan) Debosis. Yang baru saja diberi nama, Geaetano Scirea, mantan pemain Italia, yang sukses membawa Piala Dunia 1982 ke negeri “spaghetti”. Kebetulan, Stadion Olimpico, Rama pun, sudah berganti nama, Giuseppe Meazza.
Stadion Olimpico Roma. Sepertinya seolah-olah, sudah lama tinggal di kota peninggalan kerajaan Romawi tersebut. Dengan noraknya mBah Coco, melihat gedung kanan-kiri yang semuanya serba kuno banget, dan tidak ada satu pun gedung modern.
Termasuk, saat bus menuju Olimpico melewati sebuah negara terkecil di dunia, dalam negara Italia, yang bernama Vatican. Sempat leyeh-leyeh dan foto di depan gereja Santo Petrus, akhirnya setengah jam kemudian, mBah Coco diturunkan di fermata (halte) depan Stadion Olimpico Giuseppe Meazza, Roma.
Karena, punya pengalaman sedikit saat meliput EURO 1988 di Jerman Barat. Maka, dengan petunjuk yang selalu menggunakan empat (4) bahasa di sekitar press room, yaitu Italia, Inggris, Perancis dan bahasa Latin, akhirnya mBah Coco, mengurus akreditas kartu Id’Card peliputan World Cup. Saat mengisi formulir, ternyata mBah Coco, tidak bisa mendapatkan semua pertandingan partai demi partai yang diinginkan, khususnya partai-partai big-match.
Mengapa?
Pasalnya, untuk partai big-match, diutamakan untuk para wartawan dari 24 negara lolos ke putaran final. Sedangkan, para wartawan dari negara tidak lolos ke Italia, wajib “waiting-list” (alias menunggu), sesuai nomor urut. Artinya, wajib mendaftar dan menunggu antrian lebih awal, agar bisa berada diurutan pertama. Maklum, saat itu, di penyisihan grup saja, banyak bener partai big-match. Jika ada wartawan inti (24 negara), tidak hadir untuk meliput, baru dikasih para jurnalis di luar 24 negara, sesuai antrian.
Dalam dua sampai tiga hari menjelang kick-off, partai perdana Argentina vs Kamerun, 8 Juni 1990 yang akan berlaga di stadion San Siro, Milan. Sepertinya para jurnalis se-dunia, sudah berbondong-bondong mendatangi press room, untuk menukarkan undangan, menjadi Id’Card. Yang menjadi sangat spetakuler, justru ketika wartawan Indonesia yang mendaftarkan, melebihi jatahnya kartu Id’Card yang berjumlah 14 dari FIFA.
Sebenarnya, tahun 1990 itu, jatah jurnalis yang mendapat jatah resmi dari FIFA, untuk bisa meliput pertandingan demi pertandingan, ada jatah 14. Yaitu, Suryo Pratomo, Yesayas Oktavianus (KOMPAS), Eddy Lahengko, Ronny Pangemanan (SINAR HARAPAN), M. Nigara, Sumohadi Marsis (BOLA, almarhum), Ew Barce Nazar (WAWASAN), Erwiyantoro (SUARA MERDEKA), Rudi Novrianto (TEMPO), Wahyudi (JAWA POST, almarhum), Heru Suprantio (SUARA KARYA, almarhum), Agus Liwulanga (MEDIA INDONESIA), Jonny F Tamaela (PIKIRAN RAKYAT). Satu-satunya pengamat sepak bola yang mendapat Id’Card adalah Ronny Pattinasarny (almarhum), sebagai penulis kolom di KOMPAS.
Namun, kenyataannya, yang nekad berangkat, mendaftarkan diri, untuk bisa mendapatkan Id’Card, justru lebih dari 14 wartawan. Jaman itu, mBah Coco coba ingat-ingat yang hadir di World Cup 1990 itu, seperti Budiarto Shambazy Rudi Badil (KOMPAS), sebagai penulis di luar stadion (serba-serbi), Yan Nabut (JAYARARTA), Haji Isyanto (POS KOTA), Rahmad (WASPADA, almarhum), Gerald Rungkat (TRIBUN OLAHRAGA), Amir Machmud, Bambang Heru (SUARA MERDEKA, almarhum), Soetjipto SH (WAWASAN). Dari penulis kolom ada mantan pemain, Sarman Panggabean (WASPADA, Medan, almarhum), Iswadi Idris (JAWA POS, almarhum), serta Rusdi Bahalwan (SURYA, Surabaya, almarhum).
Dari para wartawan yang ‘berani mati’ masuk Italia, tanpa tanda pengenal yang resmi itu, akhirnya atas kebaikan para pekerja press room, masih bisa berbaik hati. Yaitu, hanya mendapatkan kartu press lokal. Artinya, hanya bisa masuk ruang Centro Stampa alias press room di stadion Olimpico Roma. Mereka, tanpa bisa nonton pertandingan partai demi partai sepanjang 52 pertandingan, kecuali partai perdana dan partai final.
Bagi jurnalis Indonesia, event World Cup 1990, sepertinya menjadi rekor yang belum dipecahkan oleh event tunggal mana pun. Bayangkan, tim nasional Indonesia tak pernah lolos ke World Cup (kecuali tahun 1938 dengan nama East Indies).
Namun, wartawan yang meliput Piala Dunia, justru mampu membentuk dua tim (jika ada event antar wartawan piala dunia). Beruntung, Rudi Novrianto dari majalah TEMPO, disela-sela Piala Dunia, justru merebut gelar juara pertama, antar wartawan peliput Piala Dunia, untuk cabang tenis.
Enaknya, banyak wartawan yang sama-sama ‘trush’ meliput Piala Dunia di negeri orang, adalah kebersamaan dan persaudaraannya semakin kental. Terbukti, Rayana Jakasurya yang saat itu menjadi karyawan kedutaan besar Indonesia di Italia, mengajak semua wartawan Indonesia, untuk makan malam di rumah Atase Pertahanan (Athan) Indonesia untuk Italia.
Setelah 20 hari berada di negeri Pizza itu, para jurnalis merasa seperti berada di Indonesia. Karena semua menu-menunya asli menu khas perut Indonesia. Ada pecel, ada bandeng presto, ada sop buntut, dan tentunya ada menu-menu makanan Padang. Busyet daghhh, seperti sudah satu tahun di hutan belantara, tiba-tiba masuk kota.
Menyaksikan partai demi partai dalam event Piala Dunia, bagaikan mimpi dan khalayan. Bayangkan saja, menjelang kick-off Argentina sebagai juara bertahan menghadapi ‘Singa Afrika’ Kamerun, semua wartawan tumplek blek menuju kota Milano. Mbah Coco, karena punya Id’Card, sepertinya mendapat prioritas, untuk wajib nonton partai perdana tersebut.
Stadion San Siro, menyihir semua penonton, baik langsung ke stadion atau pun yang siap-siap menyaksikan nonton siaran langsung di televisi. Saat mBah Coco ingin masuk pintu stadion, sudah disambut dua wanita cantik (voluntir).
Ketika melihat tanda ‘Id’Card, langsung diantar dan dipersilahkan masuk lift, menuju lantai tiga (3) Stadion San Siro, berkapasitas 80 ribu tersebut. Keluar dari pintu lift, mBah Coco langsung diantar oleh gadis cantik dan wangi, menuju kursi yang sesuai dengan tiket karcis atas nama mBah Coco.
Ini pengalaman yang luar biasa, dan seolah-olah sebagai ‘raja’, di mana saja diantar. Pantas, kalau ada julukan, “Wartawan nggak ade matinye,” coy !!!
Disamping duduk mbah Coco, ada fasilitas yang tak pernah terbayangkan. Yaitu, ada alat telepon yang bisa digunakan oleh setiap wartawan, yang mendapat tiket karcis dan Id’Card secara gratis, selama nonton. Dengan gaya noraknya, mBah Coco langsung mencoba telepon Jakarta. Heheheheeh, ternyata nyambung. Makanya, langsung telepon-teleponan deh……..menjelang kick-off.
Dan, disaat mBah Coco telepon, justru kamera live di area para wartawan, yang ditonton miliaran penduduk di bumi, ada di depan wajah mBah Coco. Saat itu juga, saudara-saudara yang nonton live pembukaan World Cup, di Sutan Syahrir 10 A Jakarta, langsung teriak-teriak, “Hee hehehe, nongol tu muke lu ade di tivi,” terian Ipong Witono, di seberang lautan sana!!!!
Dari Jakarta, kebetulan mBah Coco, sudah siap-siap bawa ‘walkman’ untuk menemani perjalanan dari kota ke kota. Salah satu kaset yang dibawah, album baru ‘Kantata Taqwa’ yang sebelum berangkat dikasih oleh Iwan Fals (di facebook namanya Virgiawan Listanto), sebelum di launching. Seolah-olah, semua lagu-lagu Kantata Takwa itulah, yang menggugah rasa kangen Indonesia, karena sudah lebih dari 20 hari meninggalkan Tanah Air.
Puncaknya, tanggal 23 Juni 1990, mBah Coco bersama Wahyudi (JAWA POS), naik kereta dari Roma menuju Napoli, untuk menyaksikan pertandingan ’16 Besar’, antara Kamerun vs Kolombia, di Stadion San Paolo, Napoli. Sepanjang perjalanan itu, kereta api, jurusan Napoli, menelusuri bibir pantai yang biru gelap, tanda dalam sekali, dengan ombak yang datar-datar saja. Suasana tersebut, sangat cocok dengan lagu Kantata Takwa, berjudul "Sang Petualang" dari liriknya WS Rendra.
Salah satu baitnya, lumayan nyaman untuk didengar. Sambil melihat deburan ombak lautan biru seolah-olah menyapa mBah Coco (mimpi kaleee). Sebentar-sebentar, di bibir laut dan tebing itu, ada kumpulan burung terbang, entah burung apa? Maka, terdengarkan bait-bait.
“Sebebas camar engkau berteriak,
Setabah nelayan menembus badai
Seikhlas karang menunggu ombak
Seperti lautan engkau bersikap”
Memasuki stasiun kereta Napoli, lagu Kantata Takwa masih menemani mBah Coco, sambil menunggu berdebar-debar pertarungan hidup mati, antara Kamerun vs Kolombia, dengan diiringi lagu berjudul ‘Gelisah’, dari album Kantata Takwa. Di mana salah satu baitnya menemukan beton-beton kuno dan terowongan di kota pelabuhan tersebut, kembali terdengar bait-bait,
“Pada kelelawar ia mengadu,
Pada lampu lampu jalan sandarkan angan,
Pada nada nada lontarkan marah,
Pada alam raya ia berterus terang,
Aku gelisah, Aku gelisah.”
Sambil berjalan menuju Stadion San Paolo Napoli, berkapasitas 50 ribu itu. Kira-kira jaraknya sekitar satu kilometer, dari Stasiun kereta Napoli, berjalan dengan gontai, ingin buru-buru menuju tempat duduk wartawan, dan kemudian ingin sekali telepon saudara di Jakarta. Ingin menanyakan kondisi terakhir Konser Kantata Takwa, yang berlangsung di stadion Utama Senayan. Kebetulan, waktunya, hampir sama dengan partai Kamerun vs Kolombia.
“Haloooo, halllooo, gimana konser Kantata Takwa di Stadion Gelora Senayan (sekarang bernama Stadion Bung Karno)?’ Tanya mBah Coco “Woiiii, penontonnya hampir 150 ribu,” jawab dari seberang Indonesia.. Okey deh, mBah Coco, sedang menunggu berdebar-debar aksi Roger Milla, yang sudah berusia 38 tahun. Tapi, justru masih punya taji, untuk mencetak dua gol, di perpanjangan waktu, loloskan Kamerun ke 8 Besar’ sekaligus mencetak sejarah dari negara Afrika.
Maka, diakhir 120 menit pertandingan menegangkan itu, mBah Coco, lagi-lagi kembali membunyikan ‘walkman’, masih lagu-lagu Kantata bertajuk ‘Orang-orang Kalah”, di mana salah satu baitnya berbunyi,
“Manusia sembunyi dibalik wajahnya,
Kata-kata suci berubah makna,
Hukum rimba telah menjadi dewa,
Siapa kalah terkubur hidupnya.”
Sumber/penulis: Cocomeo Cacamarica
0 Comments