SELAMAT DATANG DI BLOG "IWAN FALS INFO" SEMOGA BERMANFAAT BAGI PARA PENGUNJUNG

Iwan Fals | Kegelisahan Para Kurcaci

Tentu saja, Iwan Fals, sejak awalnya, bukan analis politik. Sebab hanya bisa melihat, beritanya, terluka (Nyanyian Ujung Gang). Ia juga bukan penulis lirik yang pandai menyusun kata-kata dalam takaran seni sastra. Sebab, ia hanya bisa menceploskan sembarang kata-kata, doa-doa apa saja, caci maki apa saja (Perjalan Waktu).

Ia pun bukanlah seorang ahli musik yang andal. Sebab, ia hanya bisa memainkan gitar sekadarnya, tidak bisa membaca partitur, dan karirnya terselamatkan oleh corak musik balada yang sejak awal dipilihnya, yang tak perlu kerumitan komposisi.

Boleh dikatakan, modal Iwan hanyalah suara yang merdu, gairah yang menggebu untuk menciptakan lagu, dan ceplas ceplosnya yang akhirnya memberi predikat sebagai "penyanyi yang bernama yang mengemukakan kritik sosial". Tapi semua itu bukanlah soal.

Dalam konteks fenomena yang kini mencuat bersamaan dengan semakin kukuhnya eksistensi Iwan di pelataran musik Indonesia, konkretnya di pentas-pentas terbuka yang menjadi ajang aksi langsungnya, persoalannya adalah kenapa Iwan Fals menjadi semakin dekat dengan "keonaran" dan "petugas keamanan"?

Sejak awal, Iwan memang manyatakan kehadiran musiknya dengan lirik-lirik yang nakal. Oemar Bakri (1981) sebuah ironi mengenai nasib seorang guru tua yang gajinya dikebiri, adalah hits-nya yang pertama. Itulah pencapaian yang dalam berbilang tahun kemudian tak lagi bisa digapainya. Baik dalam hal popularitas lagu maupun dari segi kejujurannya dalam berekspresi.

Tapi, cap yang sudah diperolehnya berkat dari lagu itu, terus melekat pada dirinya, Oemar Bakri menjadi simbol dari "komitmen sosial" Iwan untuk masa-masa berikutnya. Celoteh Camar Tolol dan Cemar (1985), tentang tenggelamnya kapal tampomas mengukuhkan komitmen tersebut. Lagu-lagunya yang terbaru yang diwakili oleh Bento (1990). Akhirnya memang menjadi sebuah tonggak bagi terpancangnya "bendera" Iwan Fals.

Tapi semua itu juga belum cukup menjelaskan fenomena tadi. Bahwa kini, bahwa bendera Iwan tampak begitu berkibar, dan ratusan muda-mudi penonton konsernya diberbagai tempat menyala dalam histeria, sehingga petugas pengamanan perlu melakukan sejumlah pembatasan, harus diketahui, itu terjadi karena banyak hal. Selain faktor "bendera" tadi, menyangkut lirik dan gaya penampilan dan mitos yang selama ini terbangun seputar diri pribadi Iwan Fals yang memberikan andil sama besarnya adalah adanya dukungan manajemen pemanggungan yang kuat, publikasi yang luas dan faktor X.

Sebagaimana galibnya, "faktor X" selalu sukar untuk dijelaskan secara eksek. Di antara sejumlah unsur yang mudah didekati dan menjadi "klise" adalah adanya suatu atmosfer di dalam masyarakat yang telah mematangkan situasi bagi kemungkinan terjadinya hal itu (baca: demam Iwan, keonaran dan sebagainya).

Katakanlah (ini belum tentu benar), "demam Iwan" itu merupakan sebuah petunjuk bahwa dia ada suatu kegelisahan "arus bawah" yang berusaha menerobos ke permukaan. Arus itu boleh jadi bernama "ketidakpuasan sosial", "ke sumpekan", "hasrat pembaruan", atau apapun itu. 

Yang pasti, jika benar kini Iwan Fals telah menjadi idola anak-anak muda. Itu mungkin disamping disebabkan oleh adanya sejumlah hal yang disebutkan tadi, karena Iwan merupakan tokoh muda yang lebih dekat dengan masayrakat (kelas sosial yang diwakili oleh Oemar Bakri atau yang menjadi korban keserakahan tuan Bento). Yakni, para kurcaci (yang) diinjak mati (Bunga Trotoar) yang merupakan mayoritas di negeri ini.

Jika tidak sampai sejauh itu soalnya, setidak-tidaknya mungkin bisa dikatakan: para pemuda itu hanya suka kepada "gaya" yang selama ini ditampilkan Iwan: acak-acakan, ceplas-ceplos, tapi beken dan berduit. Mereka, tampaknya, ingin juga seperti Iwan: tapi, karena banyak hal, tak bisa. Maka, cukuplah mereka hanya menjadi pemujanya saja.

Atau, yang lebih sederhana lagi, fenomena Iwan kali ini barangkali cukup dibaca dengan kebudayaan pop saja. Yakni, bahwa, setelah sukses (komersial) Franky & Jane (Musim Bunga) dan Ebit G, Ade (Berita Pada Kawan) Gombloh (Kugadaikan Cintaku), sesama pemusik memainkan corak folk-country-mode yang kurang lebih sama, kini memang tiba masa panen bagi Iwan, dalam musik petik beruntun setelah meledaknya Kemesraan dan Mata Dewa yang ke- 10 kariernya. Artinya, setelah ini akan tiba giliran pagi pemusik yang lain lagi. Sekurang-kurangnya, karena itulah, diawal dekade ini, Iwan layak dicatat secara khusus. Karena, seperti dikatakan teman. "He is something different." (Yudistira Mn Massardi)

Kutipan : Yunasjen
Editor No.34 / thn. III / 28 April 1990


===========================================


Artikel ini diambil dari majalah/koran kemudian telah di ketik ulang dan di re-upload, dan ini hanya sekedar membagi wawasan agar dapat membacanya kembali, khususnya kepada penggemar Iwan Fals. Semoga bermanfaat

Post a Comment

0 Comments