SELAMAT DATANG DI BLOG "IWAN FALS INFO" SEMOGA BERMANFAAT BAGI PARA PENGUNJUNG

Ilmu Bengkel Teater Rendra


Ketika saya mulai dekat dengan lingkungan Bengkel Teater saya sering mendengar tentang "Ilmu Bengkel Teater". Rendra sendiri selalu mengatakan bahwa "Ilmu Bengkel Teater" itu tidak banyak. "Kalau dibuat diktat paling-paling satu atau dua halaman," katanya. Sekarang demi mengenang kehidupan beliau dan karena ingin merumuskan sebenarnya apa itu "ilmu Bengkel teater" bagi saya sendiri dan juga untuk dibagi dengan kawan-kawan semua saya akan mencoba menceritakan, apa yang saya pahami tentang "ilmu Bengkel Teater" itu. 

Sebelum saya mengenal Mas Willy saya sudah terlebih dulu membaca suatu buku kumpulan artikelnya yang berjudul "Mempertimbangkan Tradisi". Di dalam kumpulan artikel itu ada satu tulisan mengenai simbolisme di kraton Yogyakarta, dan ada satu tulisan mengenai latihan-latihan Sri Sultan Hamengkubuwana I di masa remajanya. Isi artikel yang pertama adalah mengenai bagaimana seorang Sultan harus mempersiapkan diri secara batin sebelum duduk di atas tahta menhadap rakyatnya, sedangkan artikel yang kedua, bercerita tentang bagaimana Sultan muda mendidik diri dengan perjalanan-perjalanan ke desa-desa untuk belajar bergaul dengan rakyatnya, serta juga bagaimana dia sering pergi ke bagian sungai Pepe yang dalam di malam hari lalu membuang kedua cincin permatanya ke air,kemudian dia akan menyelam sampai ketemu cincin itu. Ketika saya mulai bergaul dengan keluarga Bengkel saya berpikir bahwa "ilmu Bengkel teater" adalah semacam latihan yang dilakukan Sultan muda itu. Apalagi saya juga mendengar bahwa anak-anak Bengkel sering mengadakan perjalanan-perjalanan ke desa, ke pantai, untuk bergaul dengan masyarakat luas. Satu "legenda" Bengkel teater yang sering membuat saya takjub adalah kisah bagaimana para anggota Bengkel berjalan kaki dari Ketanggungan Wetan sampai ke sendang Kasihan yang jaraknya mungkin sekitar 5 km, dengan mata terpejam, bahkan dengan menyeberangi kali Bedog yang banjir. Hebat sekali, pikirku. Saya kemudian mengenal bahwa yang dilakukan itu adalah latihan "gerak nurani". Ketika saya membuat Teater Akar di Yogya di tahun 1985, bersama teman-teman kami berusaha meniru hal tersebut. 

Mas Willy sering berbicara tentang "daya hidup" dan "daya mati", dan menurutnya kita hendaknya mengolah daya hidup, sebab mati akan datang sendiri tanpa diolah-olah, tak bisa ditunda dan tak layak disegerakan. Namun hidup dan daya hidup bisa diolah dengan berbagai disiplin, yakni disiplin sabar, damai dan cinta kasih. Selain hal yang konseptual seperti itu ada juga latihan-latihan praktisnya. 

"Gerak nurani" adalah salah satu "ilmu Bengkel Teater" yang penting, dan saya menunggu bertahun-tahun sampai akhirnya diajari, yakni ketika kita sedang mempersiapkan pementasan Panembahan Reso di tahun 1986. Sebelumnya kami berlatih dengan tekun meditasi untuk kosong, "kantong bolong" istilahnya. Rendra memberi saya suatu fotokopian catatan-catatan yang dibuat oleh Sosrokartono, kakak RA Kartini, yang merupakan seorang praktisi ilmu "kantong bolong" yang mumpuni. Dengan ilmu itu dia meliput Perang Dunia I sebagai wartawan media internasional yang beken, dan setelah kembali ke Bandung dia mendirikan perkumpulan "Darussalam" dan buka praktek sebagai pengusada. Setiap kali dia mengobati orang, dia hanya membuat garis Alif pada segelas air putih yang diminumkan pada pasiennya. Pasiennya banyak yang sembuh, dan terdiri dari berbagai golongan termasuk bangsa kulit putih. Bung Karno juga merupakan seorang muridnya. Rendra mengatakan bahwa meditasi kantong bolong ini sama persis dengan meditasi Satipatana kaum Budha, dan contohnya ada di patung-patung Budha di Borobudur dan Mendut, di mana tubuh-tubuh Budha tersebut luruh pasrah pada gravitasi tetapi dengan tulang punggung tegap.

Setelah sekian lama berlatih meditasi "kantong bolong" kami belajar meditasi yang bertujuan menajamkan indera kecuali mata. Maka setelah badan luruh dan rileks dalam pangkuan pertiwi, kita mulai rasakan kulit kita, nafas kita, pendengaran kita, penciuman kita, mulai dari yang dekat sampai kepada yang jauh. Selain itu kami juga berlatih bernafas dengan metode yang diambil dari pernafasan-pernafasan silat Bangau Putih. Pernafasan-pernafasan tersebut berakibat kami semakin peka dan bertenaga. Maka setelah proses latihan persiapan Panembahan Reso sudah sampai pada tahap tertentu suatu malam kami semua yang berkumpul di Bedeng, Jl Sarikaya 143, Depok, diberi tau bahwa malam nanti akan ada latihan "Gerak Nurani", dan yang belum pernah agar mempersiapkan diri dengan berlatih meditasi dulu sambil menunggu Mas Willy datang. 

Ketika Mas Willy datang, dengan serius dan khusyuk, satu persatu kami disuruh masuk ke kamar mandi, sampai penuh sesak kamar mandi sempit itu dengan kami yang berjumlah sekitar 40-an orang. Semua orang berdiri jinjit karena tak ada ruang menapakkan kaki. Ada pula yang berdiri di dalam bak, di bibir bak, di seluruh sudut kamar mandi itu isinya anak Bengkel yang sedang menerima latihan "gerak nurani" dari Mas Willy. Panas dan pengap. Seseorang menyalakan kran air dan mulai menyirami kami. Tiba-tiba, dari celah di atas pintu, Mas Willy melempari kami dengan sampah yang ternyata menumpuk di dapur, sambil memaki-maki kami. Ada teman perempuan menjerit histeris, ada teman laki-laki yang tiba-tiba mengamuk mata gelap memukul ke kanan dan ke kiri. Seorang kawan yang berdiri di atas bak mandi menendangi muka kawan yang mengamuk itu, suasana pengap dan kacau karena yang mengamuk semakin membabi buta. Yang menendnagi mukanya pun kelihatan geram sekali. Untung pelatih silat kami yang tegap, yang berdiri mepet diding kamar mandi itu dapat meraih rambut kawan yang mengamuk, dan mengangkat tubuhnya. Seketika itu dia pingsan, atau lemas, yang jelas dia terjatuh, tubuhnya tersangga kawan-kawan lain yang ada di sekitarnya. Suasana menjadi lebih tenang, yang menangis histeris diam, tiba-tiba terasa seolah kamar mandi sempit yang berisi 40 orang itu lega lapang. 

Tapi latihan belum usai. Rendra mematikan semua lampu dan menyuruh buka pintu, di luar kamar mandi lantai ternyata sudah dia basahi hingga licin, dan kami disuruh berlari cepat melewati lantai yang licin itu. Tak seorangpun ragu, kita semua lari cepat dan tak ada yang terpeleset. Setelah itu kamipun disuruh duduk dalam posisi bersemedi, lalu kami disuruh bergerak mengikuti kata hati, "Ikuti saja setiap gerak yang mau dilakukan," perintah Mas Willy. Mata kami semua terpejam tetapi terdengar banyak kawan yang mengeluarkan suara aneh seperti sedang membersihkan rongga dadanya, ada yang bergedebugan, dan saya tergerak untuk membuka mata, melihat apa yang sedang terjadi. Saat membuka mata seketika pula Mas Willy melihat kepadaku, melotot, maka saya memejamkan mata dan bergerak lagi. Kami bergerak tanpa henti sampai badan, pakaian, dan lantai tempat kami bergerak kering. Ketika kami disuruh membuka mata, kami semua merasa enteng, tiada rasa letih, tidak ngantuk, padahal jam sudah lebih dari pukul tiga pagi. Selanjutnya kami disuruh berlatih improvisasi seorang demi seorang dan terlihat benar betapa improvisasi teman-teman semua mengandung tenaga lain yang tidak ada sebelumnya. "Itu tadi, latihan gerak nurani," kata Rendra. Teman yang tadi mangamuk dan ditendangi wajahnya ditanya apakah mukanya sakit dan ternyata tidak ada bekas apa-apa. "Itu karena yang menendang, menendang dengan kebencian," Mas Willy menjelaskan.

Selain beberapa macam meditasi, gerak nurani dan beberapa macam pernafasan kami juga berlatih olah vokal sebagaimana lazimnya orang teater. Meditasi lain yang patut disebut adalah meditasi pada chakra Dan Tien yang terletak segenggam di bawah pusar, di pusat equilibrium tubuh kita. Lalu ada meditasi Purwasari di mana kita berusaha mengenali roh asal kita dan membimbingnya untuk kreatif. Meditasi Nggrayang Raga meneliti tubuh mulai dari sumsum, pembuluh darah, organ, sistem syaraf sampai kulit. Ada pula latihan stand-bye di mana kami dilatih untuk menunggu dan menunggu sampai bosan menunggu tetapi disuruh menunggu lagi. Pada suatu ketika ketika penantian itu dinyatakan selesai kami harus siap berimprovisasi dengan pentas kecil. Disiplin lain yang kami latih adalah untuk selalu menanggapi "call" dengan seketika. Jadi kalau ada kehendak menulis, itu harus dilakukan seketika. Kami diajari tidur di tikar dengan terlentang, tangan menutupi ulu hati dan bagian bawah pusar. Bangun harus seketika, tak boleh melamun-lamun dulu. Bahkan saya juga disuruh berlatih memukul angin seketika bangun. Perhatian pada detil juga sangat penting dan dilatih melalui hal-hal kecil macam menyapu dan mengepel lantai, merajang bumbu masak di dapur, melap kaca jendela dan sebagainya. Akibat dari latihan-latihan ini kami semua penuh tenaga. Berlatih silat sejak subuh dan berlatih drama sampai lewat tengah malam, selama enam bulan, setiap malam kami hanya tidur beberapa jam setiap malamnya. Kami diberi semboyan untuk pegangan kala itu, yakni "Sabar, Damai."

Ilmu Bengkel Teater yang lain mungkin termaktub di dalam Prasetya Bengkel Teater yang diucapkan di dalam ritual khusus yang dinamakan "Do'a Lingkaran". Dalam do'a lingkaran itu, lembaga inti Bengkel teater terbentuk. Kelembagaan Bengkel Teater adalah do'a lingkaran itu, bukan yayasan ataupun kelompok. Kami memancatkan do'a-do'a pujian yang berasal dari berbagai agama dan tradisi, yang intinya semua memuja Tuhan. Jadi diawali dengan Om-nya budaya Hindu, kamipun menyanyikan Haleluyah, Namyo Horen Gekyo, Subhanallah Wabihamdi, La illah ha ilallah dan sebagainya. Setelah itu kami bacakan sajak "Do'a"nya Chairil Anawar dan "Do'a" nya Rendra, lalu kami ucapkan Prasetya Bengkel Teater, yang bunyinya, "Aku ini milik Tuhan dan hanya mengabdi pada kehendak Tuhan. Aku percaya pada jalanya alam. Aku tidak ingin memiliki yang berlebih, segala yang berlebih kukembalikan kepada Tuhan melewati alam dan kebudayaan. Aku setia pada hati nuraniku. Aku hidup dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan." Ritual diakhiri dengan saling mengucapkan "aku cinta padamu." Belakangan kudengar bahwa ritual doa lingkaran sudah ditiadakan, antara lain karena protes kawan mas Willy yang Islam fundamentalis, yang tak suka dan tak rela do'a Islam dilakukan bersama dengan do'a-do'a agama lain. Saya kira dalam hal ini Mas Willy ogah ribut saja, sebab bagi teman-teman Bengkel, upacara do'a lingkaran itu sangat mengesankan. 

Di lingkungan Bengkel Teater dan Perguruan Silat Bangau Putih, Mas Willy dikenal sebagai seorang yang menekuni ilmu silat khas yang dipelajarinya dari almarhum Suhu Subur Rahardja, yang dinamakan gerak Si Pat Mo, atau Delapan Belas Penjuru Iblis. Saya belum pernah melihat gerak ini tetapi Mas Willy mengatakan bahwa ketika kami berlatih gerak nurani, sesungguhnya kami mencapai, atau berusaha mencapai, Mo itu. Mo sendiri dikatakan sama dengan konsep Spanyol el duende, yakni arus bawah nurani kita. "Di dalam alam, ada sembilan nada dan setiap nada mempunyai bayangan," kata Mas Willy. Memang saat mas Willy menyutradarai dia memiliki kemampuan aneh, yakni seakan bisa tau apa yang ada di benak kami masing-masing, hingga kalau dia berbicara sering seperti menjawab hal yang belum pula kita utarakan. Di atas panggung, Mas Willy juga bisa tampak lebih tinggi dari aslinya. Semua itu tentu dia capai akibat disiplinnya yang tinggi di dalam mengolah latihan-latihan yang dimilikinya, 24 jam sehari, setiap hari, sepanjang hayatnya. Mas Willy juga ahli menemukan sumber air yang dia praktekkan di Cipayung dimana dia menemukan sumber yang begitu di bor langsung memancar airnya tanpa perlu dipompa. Hal sama dia lakukan juga di Taman Budaya Solo, di mana dia pernah tinggal beberapa tahun lalu.

Di mata saya Mas Willy adalah seorang yang teguh dan kokoh, maka saya kaget dan heran sekali ketika melihat beliau sakit, lemas, berdiripun kesulitan. Bagaimana mungkin seorang pendekar sedemikian tergempur fisiknya, pikirku. Tetapi itulah kenyataan yang terjadi. Ada hal lain di luar kekuasaan manusia. Menurut Teddy, Mas Willy menjalani sakratul maut dengan ikhlas dan pasrah, tanpa perlawanan, damai. Dia setia pada jalannya alam. Seminggu sebelumnya dia juga sempat menulis puisi. 

Mas Willy meninggal dalam keadaan baik, dengan damai, ditemani putra dan putrinya yang tercinta. Apa yang harus diberikan kepada kehidupan ini sudah diberikannya tuntas, bahkan lebih. Kami yang mewarisi disiplin-disiplinnya dan beruntung mengenalnya dari dekat akan selalu berhutang budi dan berterimakasih kepadanya. Aku cinta padamu.

Source : Bramantyo Prijosusilo

Post a Comment

0 Comments