SAYA PEMBUNUH MARSINAH dan anda tak perlu kaget. Jika kelak saya paparkan alasannya dan bagaimana nyawa perempuan itu terbang, anda tak perlu heboh. Jika pun kelak anda mengetahui siapa saya sebenarnya, di mana saya sekarang saat ini, dan bagaimana perasaan saya sekarang, anda tak perlu repot. Satu hal yang pasti, saya membunuhnya dengan sadar. Barangkali, teman-teman saya yang ikut menyeret tubuh si buruh rewel ini ke tengah hutan Wilangan pun, sama-sama sadar saat membunuhnya.
Memang, saya memang seorang pembunuh. Lalu anda mau apa? Mau menggelandang saya ke bui? Ha-ha-ha! Ibarat seekor semut yang merantai kaki gajah, itulah anda! Maka sudahlah. Tak ada gunanya, toh telinga anda sudah jarang mendengar berita-berita di tv yang mencari-cari saya. Yang berbicara tentang perempuan yang saya bunuh pun kalah berisik dengan gosip artis. Sudah basi! Oleh karena itu, percuma anda terus-menerus menggali kuburannya, bahkan sampai tiga kali berturut-turut.
Malahan, saya kasihan dengan generasi sekarang yang sok peduli. Apa pula yang mereka ingini? Mengusut tuntas, menolak lupa, atau hanya sekedar mengikuti tren? Wahai generasi muda, sudahlah. Lebih baik waktu luang anda gunakan untuk hal-hal yang bermanfaat ketimbang mengungkit-ungkit masa lalu. Percuma, lagi-lagi saya katakan, per-cu-ma. Lumpur Porong Sidoarjo sudah mengubur sejarah Marsinah, dan itu artinya anda harus mengganti topik tuntutan.
Lagi pula, anda tak perlu terkaget-kaget seperti itu. Biasa saja lah. Coba anda bayangkan saya ini seorang Edward Snowden atau Julian Assange, yang membocorkan jaringan kawat negara yang ultra rahasia itu. Anda mestinya berterimakasih pada orang-orang seperti mereka, juga pada saya yang sudah mau membeberkan ini semua secara tertulis. Bukan berarti saya tak tahu bakalan ada resikonya, tapi toh saya ‘kan sudah lama pensiun!
Sekarang saya sedang merokok, dan di akhir bulan nanti, seperti bulan-bulan yang lalu, saya akan diantar anak bungsu saya ke kantor Pos mengambil uang pensiun. Uang di dalam amplop itu memang tak seberapa, tapi cukup untuk membeli rokok, kopi, dan makan dan membeli bibit bunga tulip atau batu kali kiloan. Saya suka berkebun, tapi setiap lengan saya menggenggam batang pacul, ingatan saya lebih sering berlari dan jatuh tercecer di hutan Wilangan. Anda mungkin sudah tahu apa yang dilakukan pacul itu di sana, 25 tahun yang lalu.
Meski sudah lama sekali, yah kira-kira 25 tahun yang lalu, tapi kenangannya masih melekat di kepala saya. Jujur saya sedikit malu, ketika teman-teman seangkatan mengadakan reuni, mereka masih hafal hawa dingin yang menjalari tengkuk mereka saat kali pertama memeluk laras panjang dan menarik tangkai picunya. Sedangkan saya, cuma batang pacul yang saya ingat, dan sialnya tak bisa lekang, mengganjal serupa tumor di otak. Saya tak bisa mengingat senapan mana yang membuat saya jatuh cinta dengan lekuk dan suara kokangnya. Saya bahkan lupa sama sekali harum mesiu dan muntahan asap dari ujung senapan saat peluru melesat keluar. Yang hanya saya ingat hanyalah batang pacul keparat itu!
Karena saya dalam keadaan sadar, maka wajar bila di saat saya mencatatnya seperti ini saya masih ingat. Pertemuan kami singkat saja. Meski kami sering berjumpa, atau lebih tepatnya lagi, saya memang mengincarnya sejak lama, khususnya di saat ia dan kawan-kawan buruhnya bergerombol menuntut yang tidak-tidak. Sore hari sebelum jasadnya koyak di tengah hutan, mata kami memang sempat bertumbuk pandang. Malam hari, sekitar pukul sepuluh lewat, saya mengikutinya dari balik pepohonan. Saya menyelinap ke balik himpitan tembok rumah yang dingin dan lembab. Bahkan saya harus bersembunyi di kolong kandang ayam, dan menginjak kotoran ayam berkali-kali.
Suasana malam begitu lindap. Tak terdengar gemerisik daun pohon yang diterpa desir angin. Saya lihat dari kejauhan, ia berjalan sendirian dengan langkah yang tergesa. Barangkali instingnya memberi tahu, atau jangan-jangan ia sudah memergoki sosok asing tetapi familiar, yang gerak-geriknya mencurigakan dan menambah keyakinannya untuk bersicepat. Itu tanda bagi saya dan tim untuk bergerak keluar dari kegelapan, dari celah dinding, dari balik pohon, dan saya dari kolong kandang ayam keparat.
Saya menghampirinya secepat musang menerkam tikus parit. Lengannya meronta ketika saya genggam. Namun kedatangan tim yang segera mengikat kaki, lengan, dan menyumpal mulutnya, membuat pekerjaan saya menjadi mudah. Kami bungkus wanita malang ini ke dalam karung dan kami angkut ke dalam mobil.
Karena di dalam mobil tak ada lampu, saya tak bisa memastikan apa yang telah tim lakukan terhadapnya. Saya hanya mendengar lengkingan, jerit dan amarah yang tertahan, serta tawa yang gaduh disusul bentakan tak henti dari teman-teman. Bila tim menggerayanginya, menyentuh wanita berambut ikal ini, biarlah itu menjadi urusan mereka. Berkhalwat di saat seperti ini, dengan tubuh wanita terikat dan mulut tersumpal, mungkin dapat membuat batang kelelakian mereka tetap bertenaga.
Tak lama kemudian kami sampai di hutan. Tangan saya sendiri yang kali pertama mencabik punggungnya dengan batang pacul. Tangan saya sendiri yang memberondongnya dengan bogem mentah. Dan ramai-ramai kami menyiksanya. Perempuan ini memang melawan. Saya tak tahu tenaga macam apa yang perempuan ini miliki. Ia tetap meronta-ronta dan berteriak-teriak seperti kuntilanak melahirkan di tengah hutan. Kami butuh lebih dari sekedar kain untuk membungkam mulutnya. Kami memakai tambang, pisau, batu, tongkat, dan lagi-lagi menyumbatkan batang kemaluan kami. Hingga akhirnya perempuan berumur 24 tahun ini tak lagi berkutik.
Marsinah, Marsinah. Mbok ya kamu itu diam saja dan tak usah macam-macam. Bila kamu diam, kamu bisa berumur panjang beranak-pinak. Meski dengan gaji kecil dan rumah kontrakan, air yang keruh dan selokan yang mampat, mbok ya bersyukur saja! Hidup itu berat dan tak perlu ditambah susah hanya karena kita menolak gaji kecil. Apalagi sok-sokan melawan. Yang repot bukan hanya bosmu di pabrik, teman-teman dan keluargamu, tapi kami pun ikut repot dan terancam merugi. Jatah palak kami akan berkurang bila pabrikmu itu bangkrut hanya gara-gara menuruti peraturan Gubernur Jatim yang tidak jelas itu.
Tapi, apa mau dikata? Perempuan berambut ikal sebahu ini, dengan sorot mata yang tegas dan berkilat-kilat ini, maunya memang menanantang kami. Ia urung jera ketika pabriknya di Surabaya memutasinya ke Porong. Eh, eh, eh, lha di Porong malah bikin serikat yang sama. Memangnya kami akan tinggal diam? Serikat buruh di mana saja hanyalah kedok dari partai komunis! Lha kamu ikut-ikutan serikat, apalagi pakai menuntut pabrik agar ini-itu, ya kamu sudah otomatis jadi anggota komunis. Titik.
Nah, sampai di sini, adakah yang lebih menjengkelkan dari petingkah aktivis serikat yang pecicilan seperti demikian? Lha, ndak ada toh? Bila anda memilih jalan seperti yang dipilih Rosa Luxemburg, Leon Trotsky, Malcolm X, Wiji Thukul, Munir, ya itu sama saja dengan menyerahkan nasib anda ke tangan kami yang hanya menyediakan setidaknya (berterimakasihlah!) 5 opsi seperti berikut: mati diracun; mati disiksa; mati ditembak; cacat seumur hidup; atau hilang ditelan bumi.
Itulah takdir perlawanan. Saya bisa ngomong seperti ini karena saya juga dicekal takdir yang sama. Jangan anda kira selama masa dinas, saya bisa hidup tentram. Jangan anda kira tidur malam dan mimpi saya semuanya tentang 7 bidadari! Di satu malam Marsinah pernah mendatangi saya. Ia tidak mengetuk pintu, bahkan suara langkahnya yang diseret itu pun juga tak terdengar. Ia membuka mulutnya tapi saya tak mendengar apa-apa. Saya bersikeras untuk terbangun tapi tubuh saya seperti terikat di atas kasur. Punggung saya basah, mulut saya menganga tapi tak sekata pun kalimat termuntahkan. Teriak pun saya tidak bisa.
Tak lama kemudian saya terbangun dengan perasaan kosong dan rasa jijik yang luar biasa pada tubuh saya sendiri. Saya menangis dan menghambur ke jalanan yang lengang dan gelap. Bau embun yang bertempias di pucuk-pucuk daun dan genting rumah menusuk hidung saya, dinginnya merembes ke dalam dada. Orang-orang yang sedang main kartu di pos ronda mengantar saya kembali ke rumah dan saya kembali terlelap. Saya terbangun pagi hari saat anak bungsu saya duduk di samping ranjang.
“Kemarin malam ayah kenapa, goblok? Kenapa menangis lagi dan jalan-jalan sendirian ke luar?” tanyanya. Tentu saya tak bisa menjawab pertanyaan seperti itu. Saya terpekur, meminum segelas air yang diasonginya ke dekat mulut saya.
“Ini sudah berkali-kali. Untung saja Ayah gak meraung dan melolong minta maaf, seperti minggu lalu. Mbok ya cepet mati sana, biar aku gak repot.”
Ya, bajingan. Sabar sedikit. Ayahmu memang di ambang pikun. Tapi bukan berarti gila. Tapi saya tak mengucapkannya. Saya punya sedikit kekhawatiran bila anak bungsu saya ini kelak mencari-cari siapa dan di mana dahulu ayahnya bekerja. Meski jelas, ia sudah tahu pangkat terakhir saya sebelum pensiun, tapi saya masih menutup rapat-rapat tentang pelbagai peristiwa yang mana tangan saya dipakai untuk mencungkil bola mata, menyayat, atau sekedar menebar ancaman terhadap para istri yang suaminya berpolah aneh-aneh, agar tidak menjadi janda yang merugi.
Mengapa saya kok merahasiakannya dari anak sendiri? Ya karena saya lahir dari drama. Anda tahu drama? Yah, kalau dipentaskan di negri ini, drama itu paling banter seperti ini. Begini-begini saya juga seorang aktor tulen, ‘kan?
Salah satu drama hebat itu adalah penangkapan sembilan orang terduga penganiaya berat terhadap Marsinah. Ketika berita itu muncul di tv, saya terkekeh-kekeh dan sesudahnya terbatuk-batuk. “Hebat!” dalam hati saya. Negara ini betul-betul memiliki segi artistik seperti polis-polis di jaman Yunani Klasik yang kerap mementaskan panggung teater sebagai sarana hiburan bagi rakyatnya. Bahkan sang sutradara pun memperhatikan detail adegan, sampai salah satu dari kesembilan terdakwa itu membuka baju di ruang persidangan. Belum sampai di situ, para aktor pun menyelesaikan tugasnya dua tahun kemudian alias bebas murni dan keluar dari balik jeruji besi.
Anda mungkin menebak, apakah saya salah satu dari kesembilan orang itu atau bukan; jelas bukan. Tapi, apakah saya ini pembunuh Marsinah atau bukan, ya jelas iya. Sayalah pembunuhnya. Anda tak perlu heboh sendiri. Cukup lah tahu bahwa tangan saya dan pacul keparat itulah yang membuat buruh perempuan itu koit. Maka sudah lah. Marsinah memang sempat hidup dengan keberanian dan rasa solidaritas yang tinggi, dengan kepedulian dan itu artinya rasa kemanusiaan yang luhur. Sedangkan pembunuhnya, merupakan algojo yang kini renta dan setengah tuli, bau tanah dan hampir gila, yang harga dirinya tak lebih kaya dari kotoran ayam. Tapi, itulah saya, si pembunuh Marsinah.
Ilustrasi: Abdul Majid Gofar
Cerpen fiksi by : F. Ilham satrio
0 Comments