Tetangga udah manasin mobil
Aku mah manasin makanan kemarin
Teman-teman update status liburan
Pengen nangis, Ya Allah, tapi lupa nadanya!
Humor-humor receh semacam itu belakangan beredar di linimasa media sosial kita. Canda yang lucu, bikin kita senyum atau ketawa sendiri, namun menyimpan kegetiran yang dalam. Hidup kita mungkin baik-baik saja, tetapi sebagai manusia, wajar jika kita ingin lebih bahagia, bukan?
Masalahnya, apa ukuran sebenarnya bagi kebahagiaan itu?
"Liburan ke mana akhir tahun ini?" Saat teman atau tetangga bertanya, rasanya kita ingin menjawabnya dengan menyebut tempat-tempat indah yang jauh. Yang keren. Yang kita bisa disanjung sekaligus dicemburui karenanya. Kita ingin cerita bahwa kita sudah memesan hotel yang nyaman dan berkemas ke tempat rekreasi idaman.
Namun, kenyataan sering berkata sebaliknya. Boro-boro untuk liburan, uang pangkal sekolah anak-anak saja belum jelas bagaimana membayarnya. Pulsa listrik hampir habis. Cicilan KPR menunggu. Jadwal belanja bulanan bikin degdegan. Dan kita jadi marah-marah, kecewa pada hidup kita sendiri gara-gara ekspektasi berlebihan, termasuk soal liburan.
Sejak sosial media menjadi rujukan sehari-hari kita, kualitas hidup dan kebahagiaan kita sering kali ditentukan oleh kualitas hidup orang lain. Padahal, sebetulnya sejak kapan sih liburan jadi agenda akhir tahun kita? Sementara bertahun-tahun kita biasa hidup bersahaja? Mengapa kini tiba-tiba tidak adanya agenda liburan jadi bencana besar buat kita?
Masalahnya, gara-gara lihat sahabat update stories instagram dan foto-foto liburan, kita jadi ingin juga. Kita jadi merasa konsep hidup kita salah tanpa tamasya. Kita merasa tidak berharga karena tak bisa menyelenggarakan piknik yang megah dan indah. Kita pikir kita tidak berguna.
"Maaf ya, Nak, Papa dan Mama belum bisa ngajak kalian liburan." Dan tiba-tiba kita merasa bersalah pada anak-anak kita. Tanpa sadar sedang menanamkan satu konsep dan nilai bahwa liburan itu maha penting dalam hidup mereka... Dan kelak mereka perlu merasa bersalah jika tak sanggup menyelenggarakannya.
Akibatnya, banyak orang memaksakan diri untuk berlibur di akhir tahun ini. Sampai rela meminjam uang atau nekad menggesek kartu kredit secara impulsif. Tak berfikir panjang apa akibatnya nanti, sambil melakukan pembenaran: "Yang penting anak-anak bahagia. Biar nanti kerja keras lagi."
Hey, sejak kapan liburan harus bikin kita susah? Bukankah liburan adalah masa untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan? Mengapa untuk mendapatkannya kita justru mengorbankan semua itu? Ironis, bukan?
Kita harus segera keluar dari segala kekonyolan ini. Kita harus membenahi hati untuk tidak merasa salah dan kurang keren jika tak sama dengan orang lain. Kita harus punya cara pandang dan konsep kita sendiri tentang apa itu berlibur dan berbahagia.
Berlibur adalah tentang beristirahat dari rutinitas. Mengambil jeda dari hiruk pikuk hidup kita selama ini yang kerap gagal memberi makna pada hal-hal sepele di sekeliling kita. Maka mulailah dari hal-hal sederhana itu.
Jika sehari-hari kita sibuk di luar dan jauh dengan keluarga, berliburlah dengan menghabiskan waktu bersama mereka. Bercengkrama, memasak bersama, camping di halaman belakang, atau apa saja yang memberi kesan berbeda dari hal-hal rutin sehari-hari.
Jika kasihan mengetahui istri sehari-hari diam di rumah, kali ini ajak nonton bareng, makan berdua di warung tenda atau menemaninya belanja. Jika anak-anak rindu kehadiran ayahnya, ajak mereka memancing bersama, ajari permainan masa kecil kita, jalan-jalan lihat rute perjalanan kita sehari-hari sambil bercerita.
Sebenarnya ada banyak cara untuk berlibur. Yang tak perlu seragam dengan cara orang lain melakukannya tetapi bisa memberi makna tersendiri buat hidup kita. Intinya, jika kita memang mampu membayar ongkos tamasya, boleh kita melakukannya. Tetapi jika tidak, jangan merasa bersalah dan memaksakannya.
Hiduplah dalam kenyataan kita sendiri, bukan dalam fantasi semu ingin seperti orang lain. Berliburlah dengan penuh kesadaran seperti seorang buruh yang mengajak piknik keluarganya di lagu 'Libur Kecil Kaum Kusam' milik Iwan Fals. Liburan ini harus menjadi momen untuk berterima kasih kepada orang-orang yang menopang hidup kita selama ini: Setianya anak istri / menantikan bahagia / sehari bagaikan sang raja.
Liburan ke mana, ya?
Ke pantai takut tsunami
Ke gunung takut longsor
Diam di rumah takut gila
Di kamar terus takut hamil!
Selamat berlibur!
Penulis :FAHD PAHDEPIE
0 Comments