SELAMAT DATANG DI BLOG "IWAN FALS INFO" SEMOGA BERMANFAAT BAGI PARA PENGUNJUNG

Slank, Reformasi Kepepet

SLANK
Reformasi Kepepet
  Kata mereka, Indonesia perlu punya Menteri senian. Karena musisi kita masih merasa dianaktirikan? Apa pula komentarnya tentang profesionalisme? Inilah sosok Slank hari ini.

  Slank terus berusaha bikin pembaruan. Bukan cuma penampilannya yang kini lebih genjreng, kostum warna-warni cerah dengan motif bunga-bunga yang membuatnya lebih segar. Tapi juga memasang dua gitaris sekaligus : Ridho Hafiedz dan Abdee Negara, menggantikan Reynold yang belum lama mengundurkan diri.

 Mochamad Ridwan Hafiedz lahir di Ambon, 3 September 1973, pada tahun 1995 pernah membentuk Last Few Minutes (LFM) dan bantuin album Bumi-nya Nugie. Sedang Abdee Negara adalah kelahiran Donggala, 28 Juni 1969. Mereka direkrut hanya beberapa hari sebelum Slank memenuhi undangan show di Bandung. Rada mepet, memang.

 Masuknya dua personel baru ini semakin menguatkan citra Slank sebagai terminalnya musik cadas. Sekarang grup tersebut memasuki formasi ke-16. Paling tidak, begitulah menurut catatan Hai. Kamu bisa nyimak formasi selengkapnya di boks halaman sebelah (anehnya, Slank sendiri menetapkan bahwa formasi dobel gitar yang sekarang adalah formasi ke-14).

  Toh, memang harus diakui bahwa Slank formasi terdahsyat. Itulah saat Kaka (vokal), Bimbim (drum), masih kompak dengan Pay (gitar), Bongky (bas), dan Indra Qadarsih (keyboard). Dari merekalah lahir lima album pertama yang umumnya sukses dalam penjualan maupun dalam menyabet penghargaan BASF Award.

  Sedang formasi Ridho-Abdee, apa boleh buat, masih belum bisa diukur kemampuannya. Karena saat mereka bergabung, sebagian besar materi album Tujuh sudah lahir melalui otak Bimbim, Kaka, dan Ivan, pemain bas yang menggantikan Bongky.

  Yang jelas, gaya petikan Ridho - Abdee yang halus sebaiknya memang enggak usah dibandingkan dengan Pay yang cenderung kasar tetap punya progresi keindahan yang kuat.

  Sebuah lingkaran berhiaskan delapan ornamen, semuanya berupa simbol, tampak mendominasi sampul album. Di situ terlihat antara lain mata uang kita terdesak oleh dolar, hati yang retak (menandakan perdamaian yang terkoyak?), bulan menangis, serta yin dan yang (lambang keseimbangan antara baik dan buruk, atau sukses dan kegagalan) yang telah berubah jadi hitam semua nggak lagi hitam putih.

  Apa pun, Slank adalah grup rock komunitas terbesar yang pernah lahir di Indonesia. Terbesar dari pengaruh yang mereka tebar di kalangan anak muda, mau pun terbesar dalam pengertian harafiah. Banyak sudah nama yang datang dan pergi. Oppie Andaresta, Imanez, Kidnap Katrina yang mencetak nama Anang. dan terakhir Flowers, adalah figur yang menempa dirinya di markas Slank: jalan Potlot 14, Duren Tiga, Jakarta 12760.

  Di atas tanah seluas 1500 meteran itulah lahir gagasan, sikap, impian, harapan, dan entah apalagi namanya. Melalui proses “belajar mengajar” yang hidup dari sehari ke sehari, Slank menancapkan tradisi berkesenian yang dianggap nyeleneh, tapi juga terasa orisinil di tengah iklim jiplak menjiplak.

  Popularitas Slank sebagai icon musik rock pula yang mendorong wartawan Detils, sebuah majalah bergengsi yang berpusat di New York, datang ke Jakarta untuk mewawancarai mereka.

  Seperti apa sebenarnya sosok Slank hari ini? Apa saja yang bikin mereka gelisah? Untuk mengorek semua itu, Denny MR khusus mengundang mereka datang ke Markas Hai, Jalan Panjang.

  Sebelum gabung dengan Slank, kamu ngapain aja?

  (Abdee): Gua pernah nge-band bareng Yoyo (Bayou), Sandy (U'Camp), Michael (Sket), Hengky Supit (mantan Whizzkid), dan Ekky Lamoh (mantan Edane). Tapi gua lebih banyak sebagai session gitu sadar bahwa suara gua jelek, hehehe!

  Pada saat bergabung, kendala apa saja yang kamu rasakan?

  (Abdee): Nggak sempat mikirin, soalnya kami kan masuknya mendadak banget. Datang, langsung latihan, dan besoknya harus sudah main di Bandung bawain tiga puluh lagu! Jadi, memang nggak sempet mikirin beban atau kendala.

  (Ridho): Kami sempat bingung juga. Soalnya, waktu ketemu, langsung diserahin enam kaset (untuk dipelajari). Gile, padahal gua yang tau paling beberapa lagu.

  Sebelumnya, pernah dengar nama Slank?

  (Abdee): Taulah! Tapi sejujurnya gua nggak terlalu merhatiin. Lagu mereka yang pertama gua tahu, Maafkan. Yang gua tahu Slank itu adalah Iwan Fals dalam format grup. Setelah masuk, rupanya banyak hal yang belum gua ketahui. Bluesnya ...

  Kamu sebelumnya suka Slank, nggak?

  (Ridho): Suka. Waktu tahun 1992 gua pernah ikutan festival, bawain lagu Slank. Terus, waktu mereka main gua pernah nonton paling depan.

  Musik Slank pasti berbeda dengan LFM. Kamu merasa kaget?

  (Ridho): Dari dulu gua memang mendalami blues. Sebelumnya gua pernah nyoba jenis musik lain. Pernah pengen main kayak Yngwie (Malmsteen), tapi ngak bisa. Begitu kenal blues, kok asyik, dan sesuai dengan yang gua pelajari (pada 1996, Ridho pernah belajar di musicians Institute. Guitar Institute of Technology, Hollywood, Amerika - Red).

  Kenapa Slank menggunakan dua gitaris?

  (Bimbim) : Kenapa ya? Waktu itu nyari satu eh, dapatnya dua. Ya, sudah.

  (Ivan) : Sebetulnya pengen dari dulu. Waktu sama Reynold rasanya sepi, walau pun dia sudah berusaha semaksimal.

  (Bimbim): Waktu itu juga sempat mau narik satu gitaris lagi ...

  Sebagai personel baru, konsep apa yang mereka sumbangkan buat Slank?

  (Kaka) : Sebagian besar lagunya udah ada, sih. Ada berapa Bim?

  (Bimbim): Dua puluh lima. Yang kepake enam belas.

  (Kaka) : Kadang kalau pas dapat chord, gua suka stuck. Misalnya ada satu part yang gua nggak ngerti kemana larinya. Biasanya dulu nanya ke Pay, enaknya gimana? Sekarang ke mereka (Ridho dan Abdee).

  (Bimbim): Yang jelas, tugas gua jadi nggak capek. Sekarang bisa saling isi.

 (Kaka): Gua bukannya mau ngesampingkan Reynold, tapi waktu bikin album Lagi Sedih itu gua merasa ada keinginan-keinginan yang belum kesampaian. Setelah ada Ridho dan Abdee, nggak tahu mungkin kebetulan, sekarang jadi kesampaian. Yang tinggal dikit itu keluar juga.

  Hal itu karena kehadiran dua gitaris atau semata-mata menyangkut masalah skill Reynold?

  (Ivan): Karena dua gitaris. Kalau skill kayaknya waktu itu nggak ada masalah. Reynold itu dulu sudah maksimal.

  (Bimbim): Ini juga dibantu oleh jadwal manggung yang ketat.

  Kamu sendiri dulu butuh waktu penyelesaian berapa lama dengan Slank?

  (Ivan) : Sebetulnya waktu gua sering nongkrong di Potlot itu secara tidak langsung sudah merupakan masa penyesuaian. Secara nggak di sadari, itu sudah (merupakan suatu) proses.

  Gimana cara Slank memotret kehidupan remaja? Sekarang kan Potlot kan sudah nggak seramai dulu?

  (Bimbim) : Sekarang yang nongkrong fans. Puluhan orang sehari. Begitu ketemu, mereka langsung cerita kayak teman lama. Banyak juga bahan yang gua dapat dari mereka. Mereka pernah ngritik. ”Slank nggak enak kalo cuma berdua, bikin dong grup lagi,” begitu.

  (Kaka) : Slankers (istirahat untuk penggemar Slank) itu berani ngomong. Mereka sudah kayak teman lama.

  Suka kangen pada suasana jalan Potlot jaman dulu?

  (Kaka): Kangen pada momen-momen tertentu, Iya. Nggak semuanya sih. Gua kangen pada proses belajar mengajarnya. Kami ngumpul, cerita ini itu. Sebenarnya ramenya sekarang sama. Cuma, dulu kebanyakan musisi, sekarang Slankers.

 (Bimbim): Dulu pergaulannya langsung (berhubungan) dengan kreativitas.

  Siapa yang punya ide bikin sampul album?

  (Kaka): idenya dari gua. Oret-oretan, baru kemudian dilanjutin orang lain.

  (Bimbim) : Sekarang lebih banyak waktu untuk merenung. Dulu kan lebih banyak nongkrong. Sekarang kami lebih banyak (berfikir) kedalam. Lebih banyak ‘meremas’ dari pada ‘ngambil’.

  Kenapa kalian menghapus lagu Siapa Yang Salah dari album Tujuh?

  (Bimbim) : Tekanan dada, hehehe...

  Apa Slank sekarang sudah banyak pertimbangan. Dulu kan nggak begitu?

  (Abdee): Mungkin karena suasana politis. Kami nggak mau keluarnya album itu malah bikin suasana jadi panas. Nanti bukannya membantu masyarakat, malah justru bikin panas.

  Apa Indonesia sekarang begitu rusuh di mata kalian?

  (Bimbim): Nggak tau ya, informasi kali. Soalnya sekarang cepat banget. Semua televisi punya siaran sendiri. Mungkin aja sepuluh tahun lalu perampokan sering (terjadi), tapi nggak ada beritanya. Sekarang ada apa-apa, langsung keluar. Gua rasa kami adalah anak-anak muda yang kaget dengan (adanya) globalitas. Mungkin ya ...

  Apakah situasi sekarang berpengaruh pada iklim bermusik kalian?

  (Ivan): Pengaruh banget. Kami pengen ngomong apa-apa kan jadi nggak leluasa.

  Kenapa sih, musisi kita kesannya seperti nggak pernah kompak?

  Beda, misalnya, dibanding musisi Malaysia?

  (Bimbim) : Kita banyak sukunya kali, hehehe. Malaysia kan melayu doang.

  (Kaka): Soalnya sampai sekarang aja masih ada omongan seperti, 'band Bandung, band Jawa Timur, ' dan sebagainya.

  (Abdee) : Sebenarnya kita sama aja dengan Amerika. Di sana juga kan ada yang bilang artis Motown ... Di sini yang megang pub orang Ambon, misalnya, yang masuk ya orang Ambon semua.

  (Ridho) : Seharusnya Indonesia punya Menteri kesenian, biar ada yang ngurus, ada yang merhatiin. Lihat saja olahragawan, duitnya gila-gilaan. Sedangkan kita, lihat saja. Ruth Sahanaya menang, nggak dijemput tuh. Dijemput ama menteri nggak? Nggak kan?

  Kalo begitu, figur seperti apa yang cocok untuk ngisi posisi tersebut?

  (Ridho) : Yang bisa memperjuangkan nasib kami. Umpamanya, bikin lagu nggak dicekal. Gua nggak tau orangnya harus gimana, yang jelas harus bisa memperjuangkan (nasib artis). Yang ngerti musik.

  Profesionalisme musisi kita sendiri sejauh mana?

  (Ridho): Kalo gua melihat profesionalisme dari sisi panggung, Tata lampu, sound system, sudah waktunya ditingkatkan.

  (Abdee): Kalo kita bicara profesionalisme, berarti harus ada jalur-jalur, dan itu kan hanya bisa dibantu oleh (pemerintah) juga punya program membantu kesenian, tapi itu lebih ditujukan kepada kebudayaan daerah, yang tradisionil, yang asli.

  Omong-omong soal soal kebudayaan daerah, menurut kamu uluran tangan pemerintah itu untuk mendukung eksistensi kesenian tradisional atau semata-mata menjadikannya komditi?

  (Abdee) : Bisa dua-duanya. Sebagai komoditi ya, untuk menjaga jati diri suatu bangsa ya.

  (Ivan) : Sebetulnya kalo mau bicara soal komoditi, lebih komersial musik pop.

  Apa dengan begitu kalian masih merasa dianaktirikan?

  (Slank) : ya!

  Sebetulnya dunia musik kita ini gimana sih?

  (Bimbim) : Gua banyak belajar dari musisi senior, seperti Godbless dan Iwan Fals. Mereka kan punya banyak album mereka nggak dapat hak apa-apa. Makanya Slank sudah mulai bikin sendiri mulai dari album empat, walau pun baru sampai nyetak label doang.

  Memangnya mencetak label sendiri bisa menjamin kalian dari “kenakalan” produser?

  (Bimbim, Kaka) : Ya, setidaknya kami tau: o, kaset kami lakunya segini ... Tapi, bisa aja kan di sana dicetak lagi. Mana kami tau?

  Mekanisme musik kita masih berjalan di tempat. Artinya, masih banyak yang musti dibenahi. Menurut

Kamu apa saja?

  (Kaka) : Sistem (hubungan) antara artis dan produser. Selama ini masih belum sejajar. Artis masih sungkan kalo mau bertemu dengan produser. Padahal kan kami ini sesuatu yang mau dijual, modal (mereka). Kalo sudah bisa berdiri sama tinggi, kan bisnis makin jelas. Nggak seperti sekarang, masih monopoli.

  (Bimbim) : Kami di sini pada akhirnya diarahin untuk pinter-pinteran, gesit-gesitan, licik-licikan. Kondisi sekarang kan seperti itu ...

SLANK 1 (1983)
Bimbim : Drum
Denny: Bas
Bongky: Gitar
Erwan: Vokal
Kiki: Keyboard

SLANK 2 (1984)
Bimbim: Drum
Denny: Bas
Bongky: Gitar
Erwan: Vokal

SLANK 3 (1984)
Bimbim: Drum
Denny: Bas
Bongky: Gitar
Erwan: Vokal
Aan: Keyboard

SLANK 4 (1985)
Bimbim: Drum
Denny: Bas
Bongky: Gitar
Uti: Vokal
Adri: Keyboard

SLANK 5 (1985)
Bimbim: Drum
Denny: Bas
Bongky: Gitar
Uti: Vokal
Adri: Keyboard

SLANK 6 (1986)
Bimbim: Drum
Denny: Bas
Bongky: Gitar
Welly Endey: Vokal
Adri: Keyboard

SLANK 7 (1987)
Bimbim: Drum
Denny: bas
Bongky: Gitar
Welly Endey: Vokal
Andre: Keyboard

SLANK 8 (1987)
Bimbim: Drum
Imanez: Bas
Bongky: Gitar
Denny: Vokal

SLANK 9 (1988)
Bimbim: Drum
Denny: Bas
Jaya: Gitar
Parlin: Gitar
Sammy: Keyboard

SLANK 10 (1988)
Bimbim: Drum
Imanez: bas
Anto: Gitar
Denny: Vokal

SLANK 11 (1988)
Bimbim: Drum
Tole: Bas
Imanez: Gitar
Nita Tilana: Vokal
Adri: Keyboard

SLANK 12 (1988)
Bimbim: Drum
Imanez: Bas
Pay: Gitar
Welly Endey: Vokal

SLANK 13 (1988)
Bimbim: Drum
Tole: Bas
Pay: Gitar
Welly Endey: Vokal

SLANK 14 (1989)
Bimbim: Drum
Bongky: Bas
Pay: Gitar
Kaka: Vokal
Indra: Keyboard

SLANK 15 (1996)
Bimbim: Drum
Reynold: Gitar
Ivan: Bas
Kaka: Vokal

SLANK 16 (1997)
Bimbim: Drum
Kaka: Vokal
Ridho: Gitar
Abdee: Gitar
Ivan: Bas

(FOTO-FOTO DAUS)

HAI XXII 17 Februari 1998
Kutipan: Darul Fikri

Post a Comment

0 Comments