Jakarta yang dua Pekan lalu 29-30/11/1993 di guyur hujan, ternyata tidak mampu menyejukkan teater arena Taman Ismail Marzuki, tempat di mana Iwan Fals, Jose Rizal manua, Naniel dan Ute, mengekspresikan kesenian yang bertajuk HUMOR MUSIM PANAS.
Ruang yang berkapasitas 500 kursi tidak mampu menampung pengunjung yang 99% fans berat si Bento (Iwan Fals), walau Jakarta di guyur hujan deras, tapi pengagum berat Iwan tidak surut, bahkan terus mendesak agar bisa mendekat ke panggung, untuk bisa berdekatan dengan sang idolanya dan mereka berhasil.
Teater arena yang biasanya sepi pengunjung bila digelar berbagai atraksi seni, malam itu menjadi saksi bisu betapa dahsyat Kharisma seorang Iwan Fals, dan tidak kalah dengan Putu Wijaya, teguh karya dengan teater nya masing-masing.
Humor musim panas memang tergolong acara yang cukup nyeleneh se nyeleneh para pengisi acaranya nya, pergelaran musik dipadu dengan baca puisi, dan terobosan ini boleh dibilang sukses karena penampilan para Seniman yang tengah di awang-awang ini, tampil apa adanya contohnya, peralatan serta sound system yang digunakan malam itu milik teater arena, yang jauh dari mencukupi untuk ukuran pentas sekaliber Iwan, begitu juga alat musik yang digunakan untuk mengiringi Iwan Fals, cuma gitar, suling, gendang dan perkusi, tapi hal itu tidak mengurangi daya pikat Iwan Fals.
Pengunjung yang sudah antri sejak sore hari, dan sebagian besar remaja berusia belasan tahun dengan gayanya masing-masing, melebur dengan lagu-lagu Iwan yang mulai berat didengar kaumnya, kecuali Bento, Bongkar dan Umar Bakri yang terasa dekat dengan mereka, toh mereka tetap setia dan histeris menyambut setiap lantunan Iwan.
Walau pergelaran kali ini terasa tumpang tindih antara teriakan Iwan Fals dan teriakan Jose Rizal manua, belum lagi teriakan para penonton, tapi pertunjukan humor musim panas boleh dibilang penyeimbang pertunjukan-pertunjukan di TIM, yang rata-rata transparan dalam melihat maupun melakukan kritik sosial.
Tapi Humor musim panas terasa lebih blak-blakan dalam melihat keadaan, seperti di atas Iwan membuka konsernya dengan lagu, *Maling dan tikus-tikus* yang langsung dapat sambutan histeris dari penonton, sekalipun Iwan membawakan lagu *Juned* *Siklus* *Kotak-kotak catur* *Di halaman rumah* *Cerita kodok* *Di dapur* *Potret* *Wakil rakyat* *Bongkar *Yang berlebihan* dan *Generasiku* Penonton tetap gegap gempita menyambutnya, apalagi bila dalam syairnya Iwan menyebut-nyebut nama tokoh yang sering membuat perubahan dalam politik negeri ini, seperti Prayogo Pangestu, Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution , Habibie, Ali Sadikin, Nasution, Solihin GP, Gunawan Mohamad serta nama-nama lain, sebagai bahan olok-olok, tentu dan mungkin karena pintu keterbukaan sudah dibuka lebar-lebar pihak keamanan, yang biasanya sensitif memberikan izin untuk pertunjukan seniman segalak iwan.
Kali ini terasa tenang tenang saja dan mendengarkan kritik pedas Iwan dari kejauhan.
Setengah jam kemudian suasana tambah panas ketika pintu masuk dibuka, lantaran penonton di luar semakin larut dalam emosi syair-syair Iwan yang terasa nakal.
Brakkk..... Pintu terbuka, puluhan remaja menghambur di tengah arena, suasana semakin genting apalagi penonton yang masuk tanpa tiket ini tidak tahu diri, dan tanpa memperdulikan penonton lain yang tengah duduk tenang dan Rapi mengikuti jalannya pertunjukan, mereka dengan gayanya yang akan mencoba mencari perhatian Iwan, dengan gayanya seperti orang sakit, sementara Iwan sendiri dengan gayanya yang khas menyapa mereka dengan sapaan "Generasi tikus Got".
Suasana tambah pengap dan morat-marit lantaran tumpang-tindih musik dan lagu, serta ketidaktertiban penonton hanya karena ingin mendekat dan foto bersama, Iwan kadang jengkel dengan ulah penonton, yang kadang melampaui batas, tapi Iwan juga sadar karena merekalah dirinya bisa besar seperti sekarang, Iwan sendiri ingin menciptakan suasana akrab dan tidak ada jarak sesama TIKUS GOT, ia ingin pertunjukannya menjadi semacam pesta bersama tikus-tikus Got, obsesi Iwan terwujud selama 2 hari berturut-turut dengan sukses.
Dalam ruang yang panas dan pengap itu menjadi tidak menentu, karena penonton pun yang karena bermodal fanatisme pada sang Dewa, tanpa memperdulikan aturan main seni di pusat kesenian itu, Mlmereka bersorak berjoget dan bahkan ada yang menyambar microphone untuk tarik suara seenak sendiri, tanpa memperdulikan penonton lain yang ingin menikmati karya seni penyanyi besar kaliber Iwan Fals.
Jose Rizal manua dengan puisi-puisi lamanya yang tetap aktual dan memikat, seperti *Punya anu* *Jujur mana* *Panorama musim panas* *Condet* *Awas ada bom* dan *di Jakarta apa saja bisa terjadi*
Serta puisinya yang lain yang kebanyakan melihat realita kehidupan sekelilingnya, menambah suasana Kian memanas apalagi dalam syairnya Jose cukup jeli memanfaatkan keadaan yang lagi (...iN).
Hanya karena kelihaian Iwan dalam memancing emosi penonton, sehingga suasana panas yang sudah di ambang batas bisa dikendalikan dengan hanya mendendangkan lagu BENTO (Thress-No/Ibra)
Sumber: Di sebuah koran/majalah, Tahun 1993
Kutipan: HK
==============================
Artikel ini diambil dari majalah/koran kemudian telah di ketik ulang dan di re-upload, dan ini hanya sekedar membagi wawasan agar dapat membacanya kembali, khususnya kepada penggemar Iwan Fals. Semoga bermanfaat.
Haturnuhun
0 Comments