Yang Tercecer Dari Swami, Dalbo dan Kantata Taqwa – Jilid 3 "LAUNCHING DALBO IWAN FALS “KESURUPAN”
Nama grup band DALBO, menurut banyak penggembira musik, dan tentunya mBah Coco, sebagai wartawan abal-abal, terkesan sangat super unik. Bayangkan saja, mosok di jaman itu, untuk membuat grup band, dan menelorkan album hanya sekali dalam seumur hidup? Nggak mungkin, bukan?
Namun, DALBO, sepertinya satu-satu di republik “mbelgedes” ini, satu-satunya grup band di Indonesia, yang bertekad seumur hidupnya, memang ditakdirkan hanya sekali membuat album, bertajuk DALBO, Busyet daghhhhh !
Entah apa yang bergelayut dalam bathin Sawung Jabo, sebagai dedengkot DALBO, yang bisa “barter” album dengan Iwan Fals, saat menelorkan SWAMI 1 dan 2? Entah apa pula, dengan lebel rekording yang berbeda. SWAMI 1 dan 2 gunakan Airo Records, sedangkan DALBO, gunakan Metrotama Records. Dan, kedua lebel ini, nyatanya asyik-asyik saja?
Di jaman itu, awal 90-an, untuk membuat album, jangan pernah bicara royalti, jangan pernah bicara bisnis antara musisi dan rekording. Di jaman itu, yang ada, kalau sebuah rekording kepincut dengan sang musisi. Maka, semuanya cukup diselesaikan dengan cara-cara, yang namanya “jual putus”. Alias, glondongan, rek!’
Sebelum, mBah Coco cerita tentang judul di atas, hanya mencoba sebagai pengingat. Bahwa, di sampul kaset DALBO, ada goresan Sawung Jawo, dari hati yang paling dalam, untuk album DALBO. Hanya sekali dan selamanya, satu album.
Bacalah, dua alinea coretan Jabo :
Ternyata diam dan mengamati hidup dan kehidupan adalah sesuatu pengalaman bathin yang mengasyikan sekaligus menegangkan. Kelahiran DALBO, adalah akibat benturan dan getaran hidup sehari-hari yang makin lama, makin menguatkan serta membawa kandungan persoalan arus bawah kehidupan.
Kehadiran kami, adalah kewajaran dan suatu perjalanan manusia, yang memilih musik simbol penjelasan dan pelaksanaan apa saja, yang bergerak dan bergolak, yang mengusik pintu-pintu kesadaran kami. Semoga berguna!
Versi mBah Coco, DALBO, memang sebuah inspirasi Jabo sebagai sosok, yang kaya akan nuansa dan wawasan kehidupan, dalam berteater di Bengkel Teater, dan menggosok badan tubuhnya di dalam ilmu Bangau Putih, dan bergelut dalam kehidupan “Bronx” kawasan legenda Jogjakarta, Malioboro. Serta, dilahirkan di kota arek-arek Suroboyo, yang tak pernah padam menyuarakan nasionalisnya.
Dari 10 lagu di kaset DALBO, lebih dari 70% semuanya karyanya Sawung Jabo. Seperti “Sudrun”, “Karena Kau Bunda Kami”, “Hua Ha Ha”, “Dunia Binatang”, dan ‘Aku Bosan”. Sedangkan, kolaborasi Jabo dan Iwan alias Virgiawan, ada di lagu, “Kwek-Kwek-Kwek”, “Hura-hura, Hura-hura”, “Dalbo”, dan “Bidadari Senjakala”. Hanya satu lagu, karya Innisisri, yaitu “Ini Si Trendy”.
Yang mungkin, banyak bertanya-tanya, baik penggemar musik jagat Indonesia, atau pun penggemar Iwan Fals, khususnya OI. Mengapa, personil SWAMI 1 dan 2, nggak berbeda dengan pasukan DALBO?
Nggak perlu dijawab oleh semua personil. Cukup, dijawab mBah Coco saja ya!
“Ya suka-suka merekalah. Mereka sudah menyatu, dalam wadah SIRKUS BAROCK, nyaris 80% personil SWAMI 1, dan 2, serta DALBO, adalah adalah grup bandnya Sawung Jabo. Dan, dalam pergulatan kreatif, mereka sudah katham dalam satu bathin, dalam bermusik.”
Mosok, harus bongkar pasang….heheheheh
Sawung Jabo, Innisisri, Nanoe, dan Toto Tewel sudah lama banget berkumpul dalam siklus kehidupan bathin di SIRKUS BAROCK. Kalau, hanya nambah, Iwan Fals, Yockie Suryo Prayogo dan Naniel Yakin. Sepertinya, nge-klik…dan menyumblim, bro!
Pertanyaannya, lalu ke mana alur cerita si Badu? Eeee, maaf, maksudnya alur si Iwan Fals, seperti judul di atas.
Alkisah, Maret 1993. Di kawasan Museum Satria Mandala, di jalan Gatot Subroto, ujug-ujug ada lokasi hiburan. Namanya, Manari Kafe. Tempatnya, asyik di tengah kota, Jakarta Selatan. Disitulah, akhirnya pasukan DALBO, sepakat untuk melaunching album satu-satunya dari anak-anak bumi Indonesia, yang esentrik.
mBah Coco, sebagai wartawan musik abal-abal, sudah pasti ngebet segera untuk meliput, peristiwa langka tersebut. Sayang sekali, malam itu, terlambat. Maklum, harus deadline di markas SUARA MERDEKA dulu, mengerjakan berita-berita sepakbola nasional. Trus, langsammm, menuju Manari Kafe.
Jaman itu, mBah Coco, walaupun penulis abal-abal, sudah punya mobil Volvo 406, yang dicat pilok, warna-warni bermotif api menjilat langit. Ya, mirip jaman Jhon Travolta main di film “Saturday Night Fever” atau “Grease”.
Hanya dalam hitungan detik, ujug-ujug, saat mBah Coco sedang cari parker di Museum Satria Mandala. Nyatanya, persis di samping mobil VW Caravelle, karena dalam suasana malem, hanya terlihat samar-samar warna hijau telur asin asal Brebes.
Baru keluar, dan menuju pintu Manari Kafe, Tompel teriak-teriak, “Jek, Jek..tolong kawal si Iwan, jangan sampai mereka berdua saja,” demikian teriak Tompel Witono “Okey, tolong bawain mobil mBah Coco, sambil melempar kunci Volvo.”
mBah Coco, sekelebat langsung nyamperin mobil VW Caravelle, dan ketok-ketok pintu, agar mBah Coco bisa ikutan. Dan, ternyata, mBah Coco beruntung dibukakan pintunya, secara otomatis, sebagai mobil super mewah, sleretttt ngleret terbuka nyamping. Dan, ternyata, di dalam mobil sudah ada Iwan Fals dan Yos, istrinya.
“Ada apa Wan, kok ujug-ujug langsung kabur?” Iwan bergeming
“Ada apa, Yos, kok berdua nangis? Yos bergeming.
Perjalanan, dari Manari Kafe hingga menjelang masuk Cililitan, belok masuk ke arah Condet, mBah Coco, hanya menyaksikan Iwan dan Yos menangis, tanpa bicara. Tiba-tiba dari luar ada bunyi, “Greg…greggg, greggggggg panjang.”
Ternyata, mobil VW Caravelle, nyrempet becak. Dan, Iwan terus tetep jalan. Yos, berteriak, “Ro, elu aje yang nyetir, si Iwan lagi nggak konsen. Tolong gantiin,” kata Yos.
Dan, nggak lama, Iwan turun dari mobil, pindah duduk ke belakang, dan mBah Coco gantikan posisi Iwan Fals, sebagai driver. Hingga, sampai depan rumah Iwan di Condet. Yos, hanya bilang, “Ro, temenin si Iwan, gue turun di depan. Ajak dia ke Mas Willy (WS Rendra) aje.”
Sebagai navigator yang baik, dan pernah ikutan relly Paris – Dakar (maaf, hanya dalam mimpi, nggak usah sirik), akhirnya mBah Coco mlipir dari Condet, menuju Cipayung Raya no 55. Markas Bengkel Teater, dan juga rumah tinggal WS Rendra. Kira-kira, sampai rumah tokoh legenda budayawan terbaik di Indonesia, sekitar pukul sembilan malem.
Malem itu, Wan Abud (panggilan akrab kolega-koleganya di SWAMI, DALBO dan KANTATA TAQWA), duluan tergopoh-gopoh naik ke lantai 2, rumah bercorak serba kayu, milik mas Willy. Sedangkan, mBah Coco, sempat melihat VW Caravelle yang bekas nyrempet becak. Ya ampunnnnn, lumayan dalam goresannya. Sambil, membathin, ini mobil siapa? Atau ini hadiah mobil Iwan Fals dari siapa?
Tahun 1992, Jakarta ditunjuk menjadi penyelenggara KTT Non Blok ke-10, yang berlangsung di JHCC, atau terkenal dengan nama Balai Sidang, Senayan Jakarta. Ada 1050 unit mobil WV Caravelle yang didatangkan Bimantara, milik Bambang Triadmodjo, anak Soeharto. Caravelle, digunakan untuk tamu-tamu petinggi Negara anggota KTT Non Blok. Mobil VW Caravelle tahun segitu, adalah dambaan anak-anak metropolis, bro!
Saat, mBah Coco ikutan naik ke lantai 2, Iwan nangis sejadi-jadinya, sambil mukul-mukul kayu dinding rumah mas Willy.
“Ada apa, Wan? Ngapain pake nangis segala. Semuanya, bisa dibicarakan dengan asyik-asyik saja,” demikian tanya mas Willy kepada Iwan Fals, sambil mengisap dalam-dalam rokok di tangannya. Maklum, mas Willy perokok berat, seolah-olah mirip mBah Coco.
Maaf, setelah Iwan masih mukul-mukul dinding kayu, sambil nangis. Mbah Coco, sengaja turun ke bawah. Agar, kedua legenda ini, mudah dan nyaman berdialog, berdiskusi dan workshop (budaya anak-anak Bengkel Teater).
mBah Coco, jadi teringat peristiwa “kesurupan 1” Iwan Fals. Saat, menjelang Konser Iwan Fals, menuju konser Iwan Fals 100 Kota. Sebelum mendapat ijin dari kepolisian Polda Metro Jaya. Yang berlangsung di Hotel Sahid Jaya, jalan Sudirman, Jakarta. Untuk diperlihatkan kepada pihak berwajib.
Suasana bathin Iwan Fals, saat itu, membrontak dan protes berat. Bahwa, untuk bisa mendapatkan ijin manggung di Parkir Timur Senayan, harus ujug gigi dulu, di depan anggota polisi, agar dapat ijin. Cara-cara pembuat ijin, dianggap Iwan tidak nalar, dan tidak sehat.
Dampaknya, di depan para petinggi polisi, sebelum diberi ijin manggung. Iwan Fals, ternyata membangun sugesti dirinya, sekaligus mempertontonkan cara-cara “kesurupuan”, dengan bernyanyi, berputar-putar sepanjang lagunya. Sekaligus teriak-teriak sekeras-kerasnya. Standart ungkapan protes Iwan Fals, versi mBah Coco.
Pesan “kesurupan 1” saat itu, silahkan tonton saya dengan gaya karakter saya. Dan, silahkan kasih ijin atau tidak. Dirinya, tak peduli. Nalar Iwan Fals, versi mBah Coco. Orang mau menghibur saja, kok dilarang, dipersulit, dan harus kasih contoh.
Nah, “kesurupan 2”, di Manari Kafe, saat launching DALBO. Iwan Fals, dianggap para sahabat personil dalam grup, juga dianggap kesurupan. Sehingga, menjelang keluar dari panggung. Iwan Fals, teriak-teriak histeris. Entah, apa yang ada dalam benaknya?
Padahal, saat itu, launching album DALBO, sedang memasuki lagu ke-2. Namun, ujug-ujug, Iwan Fals teriak-teriak, dan langsung keluar dari posisi grup band, lari ke parkiran Museum Satria Mandal. Kemudian, beruntung mBah Coco, bisa jadi saksi seorang diri. Njuk piye jal? (bersambung, soal KANTATA TAQWA).
Catatan :
Dalbo versi personilnya, artinya “anak gendruwo”. Dan, perseteruan bathin diantara mereka, berdampak pada Yockie Suryo Prayogo keluar dari DALBO, dan membuat grup band – SUKET. Mereka, hanya terdiri dari Sawung Jabo, Iwan Fals, Naniel Yakin Alm Innisisri, Nanoe dan Toto Tewel alias Emmanuel Herry Hertoto.
Kaset album DALBO : Side A, Hura-hura, Hura-hura, Kwek – Kwek – Kwek, Ini si Trendy, Sudrun, Dunia Binatang. Side B, Hua Ha Ha, Karena Kau Bunda Kami, Aku Bosan, Bidadari Senjakala, Dalbo.
14 September 2022
Sumber penulis/foto: Cocomeo Cacamarica
0 Comments